Mohon tunggu...
surya hadi
surya hadi Mohon Tunggu... Administrasi - hula

Pengkhayal gila, suka fiksi dan bola, punya mimpi jadi wartawan olahraga. Pecinta Valencia, Dewi Lestari dan Avril Lavigne (semuanya bertepuk sebelah tangan) :D

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menertibkan Pejalan Kaki

2 Maret 2018   11:28 Diperbarui: 2 Maret 2018   11:38 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini sebenarnya cerita beberapa minggu lalu ketika saya keluar dari stasiun sudirman yang mengarah langsung ke arah jalan Jenderal Sudirman dengan simbol patung besar jendral sudirman yang sedang memberikan hormat kepada para pengguna jalan yang melintasi daerah tersebut.

Jika biasanya selepas keluar dari stasiun, saya akan di sambut oleh wajah bus bus berwarna hijau dan orange yang keduanya mengarah ke senayan, namun hari itu tidak. Jalanan terlihat lebih lenggang dari biasanya mengingat tidak ada bus bus yang biasa di panggil kopaja dan metromini  yang terparkir di depan stasiun sudirman. 

Yang ada terlihat hanya beberapa polisi yang mencoba mensterilkan tempat yang biasanya menjadi persinggahan bus tersebut dari pejalan kaki agar para pejalan kaki tetap berada di trotoar dan mengusir bus bus yang mau berhenti dan mengarahkannya lebih ke depan.

Bagi saya, strategi polisi yang tidak menertibkan kopajanya dan lebih memilih menertibkan pengguna kopaja yang notabene pejalan kaki berjalan sukses. Hari itu para pejalan kaki di paksa jalan di trotoar berpagar yang memang selama ini telah di sediakan. Beberapa tempat yang tidak di pagari di sepanjang trotoar itupun di jaga pihak kepolisian. 

Jika ada pejalan kaki yang ingin keluar di tengah jalan, ia di paksa masuk kembali ke area trotoar. Para pejalan kaki yang memaksa memanjat keluar dari pagar pun di tegur melaui toa di mobil kepolisian -mungkin- agar ada efek malu-. Kasarnya, para pejalan kaki hari itu dipaksa berjalan di sepanjang trotoar sampai batas yang seharusnya, dan di batas trotoar berpagar tersebut juga sudah ada bus bus yang biasa ngetem di depan stasiun, dimana mereka di geser agar berhenti lebih ke depan dari biasanya.

Penertiban pejalan kaki yang dipaksa berjalan hingga ke batas akhir trotoar berpagar pun berimbas pada bersihnya jaur di depan stasiun sudirman yang biasanya selama ini semrawut diisi bus bus yang ngetem menunggu penumpang keluar. Para sopir bus pun mau tidak mau mangkal lebih ke depan dari biasanya karena para costumer mereka di jaga agar berjalan di trotoar berpagar yang di sediakan.

Saya sendiri menilai positif ide kepolisian yang menertibkan pejalan kaki. Selama ini pejalan kaki bisa dibilang luput dari salah satu penyebab kesemrawutan di jalanan ibukota. Padahal pejalan kaki merupakan salah satu faktor penting dalam rantai kemacetan. Misalnya saja, ketika naik kendaraan umum, dimana banyak orang yang lebih suka memberhentikan bus bukan di tempat seharusnya, sehingga membuat supir bus mau tidak mau menghentikan laju kendaraannya. 

Begitupun ketika turun, dimana pengguna angkutan umum biasanya malas jalan dan lebih memilih berhenti tepat pas pas di depan tempat yang mereka tuju, padahal itu bukan di halte.

Namun sayangnya, penertiban itu hanya berlangsung 2 hari, dan itu pun masih ada beberapa pejalan kaki yang kadang masih memanjat pagar pembatas meski sudah di peringatkan dan lebih memilih berjalan di jalan, lalu lari lari memberhentikan bus yang hendak di naikinya yang otomatis membuat si supir melambatkan kendaraannya untuk menambah omset.

Sejujurnya, ketika melihat penertiban pejalan kaki tersebut, saya teringat pada satu artikel yang pernah saya baca mengenai prostitusi di mana di artikel tersebut di tuliskan bahwa bisnis prostitusi tidak akan pernah bisa di hilangkan selama pengguna/pemakai jasa prostitusi masih ada. Dan hal yang sama sepertinya juga berlaku dalam kesemrawutan yang di teorinya di sebabkan angkot ngetem, padahal, pengguna angkotlah yang membuat angkot angkot ngetem dan suka berhenti sembarangan. 

Bahkan kalau dipikir ulang, hal tersebut mungkin juga berlaku untuk menjamurnya PKL yang memenuhi ibukota. Kalau saja masyarakat sepakat tidak membeli makanan yang di jual di emperan2 trotoar, para pedagang pasti memilih pindah tempat dagangan dan tidak memakai trotoar sebagai tempat berjualan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun