Berdasarkan riset kecil-kecilan yang saya lakukan di internet, terungkap jika GO-JEK memungut 20% dari total transaksi yang sukses dilakukan mitra, sedangkan Uber memungut 30% agar mitra bisnisnya bisa menikmati layanan pesan antar makanan.Â
Untuk Uber tidak perlu disebutkan di sini karena layanannya juga sudah tidak ada.
Contoh sederhanannya seperti ini: Restoran Ayam Goreng A memberi harga Rp 10.000 untuk 1 paket nasi ayam goreng. Aplikasi delivery kemudian akan memungut Rp 2.000-Rp 3.000 dari setiap pembelian paket nasi ayam.
Aplikasi juga memiliki kuasa penuh menaikkan harga. Yang bikin heran, uang yang diterima mitra tetap sama. Dan, saat perusahaan aplikasi rajin memberikan free delivery sebagai buntut perang tarif dengan kompetitornya, mitra tetap kena charge 20%-30% dari total transaksi.Â
Artinya seluruh beban ditumpangkan ke pundak mitra. Posisi tawar mitra untuk melakukan negosiasi pun nyaris tidak ada.
Namun, masalah sebenarnya adalah margin keuntungan. Asal tahu saja, bisnis kuliner adalah bisnis dengan margin keuntungan tipis. Restoran raksasa seperti McDonald saja hanya bisa meraup keuntungan bersih sebesar 22% pada tahun 2017 lalu.Â
Sedangkan margin untuk kedai kaki lima dan restoran mewah jauh lebih kecil lagi. Rata-rata keuntungan bersihnya hanya sekitar 5% hingga 10% dari omzet.
Berdasarkan kalkulasi di atas, pengusaha kuliner akan terus kehilangan laba jika masih bermitra dengan perusahaan aplikasi. Bukan tidak mungkin pula, kondisi ini akan membawa mitra aplikasi ke tubir kebangkrutan.
Penyedia aplikasi sendiri memiliki argumen mengenai keuntungan jangka panjang yang diperoleh jika bekerja sama dengan mereka. Pada awal-awal kerja sama, kebanyakan mitra memang semringah lantaran penjualan meningkat.Â
GO-JEK bahkan mengklaim, mitra mengalami kenaikan transaksi rata-rata 3 kali lipat sejak bergabung dengan GO-Food.
Tapi kenyataannya, semakin lama usia kemitraan, semakin banyak keuntungan mitra yang berpindah ke rekening aplikasi.