Mohon tunggu...
Surtan Siahaan
Surtan Siahaan Mohon Tunggu... Penulis -

Berbahagialah orang yang tidak sukses, selama mereka tidak punya beban. Bagi yang memberhalakan kesuksesan, tapi gagal, boleh ditunggu di lapangan parkir: siapa tahu meloncat dari lantai 20. -Seno Gumira Ajidarma-

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Aplikasi Pemesanan Makanan Online, Bumbu Pahit Bisnis Kuliner

31 Maret 2018   15:22 Diperbarui: 2 April 2018   21:02 7206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: upserve.com

Pengusaha kuliner akan terus kehilangan laba jika masih bermitra dengan perusahaan aplikasi

Randy, manajer sebuah perusahaan start up teknologi finansial di Jakarta Utara tiba-tiba merasa lapar. Padahal, saat itu nyaris tengah malam dan pria 32 tahun ini masih di kantor untuk mengawasi proyek migrasi server website perusahannya.

Meski sebuah restoran burger cepat saji hanya berjarak beberapa lantai dari kantornya, dia lebih memilih menggunakan jasa pesan antar makanan.

Lagipula malam itu Randy "ngidam" Sop Kambing Bang Karim Tanah Abang. Cukup buka aplikasi dan klik pesan, makanan yang diinginkannya pun siap meluncur. "Lebih gampang dan kebetulan ada free ongkir. Jadinya lumayan murah," tuturnya girang.

Bagi Randy dan jutaan orang lainnya, kehadiran aplikasi delivery food adalah anugerah. Namun, tidak demikian halnya bagi pelaku bisnis kuliner yang jadi mitra aplikasi. Lho, kok bisa? Bukannya tingkat penjualan mitra terbukti membaik setelah gabung aplikasi?

Bisnis kuliner serba salah

www.go-jek.com
www.go-jek.com
Seperti yang kamu semua ketahui, bisnis kuliner tengah memasuki fase baru. Setelah sosial media berhasil menjadi alat efektif untuk menjangkau dan menganalisa kebiasaan konsumen, munculnya aplikasi pesan-antar makanan menjadi instrumen marketing baru yang tengah dieksplorasi para pengusaha kuliner.

Sejauh yang saya tahu, para pemain utama aplikasi pesan-antar makanan merupakan aplikasi transportasi online. 

Perusahaan aplikasi itu adalah GO-JEK dengan GO-Food-nya, Grab dengan Grab-Food. Setelah Uber Asia Tenggara diakuisisi Grab, layanan delivery makanan milik Uber, Uber Eats, tidak lagi bisa diakses di Indonesia.

Layanan bisnis ini sebenarnya sangat sederhana. Pengguna cukup memilih makanan yang ada di aplikasi. Kurir membelikan makanan dan mengantarnya langsung ke tangan Anda. Bayar dan makanan pun siap disantap!

Bagi pengusaha kuliner skala kecil hingga menengah, layanan delivery adalah harga mati. Tidak ikut bergabung, konsekuensinya akan tertinggal dari kompetitor yang sudah lebih dulu bergabung dengan aplikasi. Buktinya memang nyata. 

Tingkat akuisisi mitra yang dilakukan perusahaan aplikasi cukup kencang. Mitra aplikasi pun bervariasi mulai dari kuliner kelas warung kaki lima hingga restoran kelas di hotel bintang lima.

Berdasarkan data yang dikutip dari Kontan.co.id, saat ini jumlah merchant Grab Food per Januari 2018 mencapai 300.000 merchant. Sedangkan Katadata menyebutkan per Januari 2018 mitra GO-Food sudah mencapai 125.000 merchant.

www.ngpf.org
www.ngpf.org
Sebenarnya, pelaku usaha bisa menyediakan layanan antarnya sendiri. Namun, bagi bisnis kuliner skala kecil dan menengah hal ini mustahil. 

Alasannya, butuh karyawan khusus untuk melakukan pekerjaan itu. Bertambahnya karyawan kan sama artinya dengan berkurangnya marjin keuntungan. Mengantar makanan juga tidak bisa sembarangan. 

Selain pengemasannya harus baik, wajib ada boks penyimpanan khusus untuk menjaga makanan tetap hangat atau segar.

Sementara jika layanan delivery dipaksakan menggunakan sumber daya yang ada? Wah kualitas produk bisa menurun. Padahal dalam bisnis kuliner, kualitas adalah kunci.

Ke mana laba mengalir?

market.bisnis.com
market.bisnis.com
Lantas, apakah menjadi mitra aplikasi adalah keputusan yang tepat bagi pengusaha kuliner? Bila kita berbicara soal keuntungan, bergabung sebagai mitra aplikasi bukan keputusan paling brilian.

Mungkin belum banyak yang tahu jika model bisnis aplikasi pesan antar makanan mendapat keuntungan dari banyak pihak. 

Selain mendapatkan uang dari fee dan bunga bank melalui setiap transaksi menggunakan digital wallet (GO-PAY, GrabPay, Uberpay) perusahaan aplikasi juga mendapatkan cuan dari mitra penyedia makanan.

Perusahaan aplikasi biasanya memungut 20% hingga 30% dari harga makanan yang tertera di aplikasi.

Berdasarkan riset kecil-kecilan yang saya lakukan di internet, terungkap jika GO-JEK memungut 20% dari total transaksi yang sukses dilakukan mitra, sedangkan Uber memungut 30% agar mitra bisnisnya bisa menikmati layanan pesan antar makanan. 

Untuk Uber tidak perlu disebutkan di sini karena layanannya juga sudah tidak ada.

Contoh sederhanannya seperti ini: Restoran Ayam Goreng A memberi harga Rp 10.000 untuk 1 paket nasi ayam goreng. Aplikasi delivery kemudian akan memungut Rp 2.000-Rp 3.000 dari setiap pembelian paket nasi ayam.

Aplikasi juga memiliki kuasa penuh menaikkan harga. Yang bikin heran, uang yang diterima mitra tetap sama. Dan, saat perusahaan aplikasi rajin memberikan free delivery sebagai buntut perang tarif dengan kompetitornya, mitra tetap kena charge 20%-30% dari total transaksi. 

Artinya seluruh beban ditumpangkan ke pundak mitra. Posisi tawar mitra untuk melakukan negosiasi pun nyaris tidak ada.

Namun, masalah sebenarnya adalah margin keuntungan. Asal tahu saja, bisnis kuliner adalah bisnis dengan margin keuntungan tipis. Restoran raksasa seperti McDonald saja hanya bisa meraup keuntungan bersih sebesar 22% pada tahun 2017 lalu. 

Sedangkan margin untuk kedai kaki lima dan restoran mewah jauh lebih kecil lagi. Rata-rata keuntungan bersihnya hanya sekitar 5% hingga 10% dari omzet.

Berdasarkan kalkulasi di atas, pengusaha kuliner akan terus kehilangan laba jika masih bermitra dengan perusahaan aplikasi. Bukan tidak mungkin pula, kondisi ini akan membawa mitra aplikasi ke tubir kebangkrutan.

Penyedia aplikasi sendiri memiliki argumen mengenai keuntungan jangka panjang yang diperoleh jika bekerja sama dengan mereka. Pada awal-awal kerja sama, kebanyakan mitra memang semringah lantaran penjualan meningkat. 

GO-JEK bahkan mengklaim, mitra mengalami kenaikan transaksi rata-rata 3 kali lipat sejak bergabung dengan GO-Food.

Tapi kenyataannya, semakin lama usia kemitraan, semakin banyak keuntungan mitra yang berpindah ke rekening aplikasi.

Sebagai solusi, tidak sedikit mitra yang membebankan kerugian ini ke pelanggan. Caranya dengan menaikkan harga dengan embel-embel potongan pajak. 

Dan, di akhir rantai makanan di dunia milik aplikasi delivery makanan, kita semua tahu bahwa konsumen adalah kudapan empuk bin lezat yang tidak akan melawan saat dimangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun