Mohon tunggu...
Santi Harahap
Santi Harahap Mohon Tunggu... Administrasi - Berjuang menegakkan kebenaran walaupun dengan Do'a

Berbagi walaupun hanya dengan satu kata

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pahlawan Suara Rakyat Indonesia

30 Maret 2019   09:35 Diperbarui: 30 Maret 2019   10:30 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Fenomena yang selalu muncul pada setiap pelaksanaan Pemilu baik itu Pilpres, Pilkada ataupun Pileg adalah Golongan Putih (Golput) atau partisipasi pemilih untuk tidak menggunakan haknya dihari pemungutan suara. 

Secara peraturan tidak menentukan pilihan, tidaklah dilarang karena hal tersebut termasuk dalam hak asasi setiap warga Negara Indonesia sesuai dengan UU no. 39 tahun 1999 pasal 43 tertulis "hak" bukan "wajib", sehingga ada pembenaran bahwa hak disini boleh digunakan atau tidak. 

Gelombang Golput muncul sejak jaman Orde Baru tahun 1955, dimulai karena kekecewaan rakyat terhadap pemerintah yang dianggap menyengsarakan perut rakyat. 

Namun baru disebut sebagai gerakan Golput pada tahun 1971, hal ini dikarenakan adanya pembatasan jumlah partai politik yang diperbolehkan untuk mengikuti Pemilu dan sebagai jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa (pemerintah) dalam situasi apa pun.

Dari penjabaran diatas tentang asal gerakan Golput dikarenakan adanya kekecewaan terhadap pemerintah, namun saat ini akibat gerakan tersebut seakan mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia. 

Hal ini disebabkan oleh prediksi meningkatnya jumlah Golput pada Pilpres dan Pileg 2019. Sebagai warga negara Indonesia dan termasuk dalam kaum milenial hal ini sangat mengetuk hati saya untuk membuat sebuah tulisan ini. 

Berdasarkan dari makna demokrasi sendiri adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sementara penerapan demokrasi di Indonesia telah melewati 3 macam dari dimulai dari demokrasi liberal atau parlementer (1950 -- 1959), demokrasi terpimpin(1959 -- 1966) dan sampai saat ini yang digunakan demokrasi Pancasila (1966 -- sekarang). 

Sejarah panjang tentang demokrasi tersebut seharusnya menyadarkan kita sebagai warga negara Indonesia, bahwa penerapan proses demokrasi di Indonesia tidaklah mudah, penuh dengan lika-liku hingga mampu menerapkan demokrasi Pancasila yang dianggap paling tepat karena berdasarkan penjabaran dari UUD 1945 dan Pancasila.

Jika jumlah Golput terus naik hingga 51%, maka proses demokrasi di Indonesia dianggap telah gagal dalam arti lain "tidak ada lagi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat". Kemudian mau dibawa kemana lagi negara ini bila sudah tidak ada rakyat yang mendukung berdirinya NKRI. 

Sehingga menurut saya Golput bukanlah suatu solusi untuk menunjukkan kekecewaan dan perbedaan pendapat terhadap pemerintah, berdasarkan sejarah negara Indonesia yang terbentuk karena persamaan nasib dan sepenanggungan harusnya rakyat ikut terus berperan dalam keberlangsungan NKRI. 

Terlepas dari masih banyaknya keinginan rakyat yang belum terpenuhi dinegara ini, bukanlah alasan untuk bersikap apatis. Masih ada kepentingan yang lebih besar daripada ego tersebut, yaitu keberlangsungan NKRI yang kita cintai dan banggakan inilah yang seharusnya lebih diutamakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun