Mohon tunggu...
Anton Priyanto
Anton Priyanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

IPT 1965 Is Not Formal Justice

24 Maret 2016   15:13 Diperbarui: 24 Maret 2016   15:26 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="IPT1965 Is Not Formal Justice"][/caption]

International People’s Tribunal (IPT) 1965 atau lebih dikenal dengan Sidang IPT 65 yang digelar di Den Haag, Belanda, bukan merupakan peradilan formal. Perlu diketahui bahwa sidang ini membahas peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965 dengan hanya menghadirkan pihak-pihak yang merasa sebagai korban simpatisan PKI. Sidang Pengadilan Rakyat Internasional 1965 ini tidak menginduk ke badan-badan resmi sehingga proses maupun keputusan sidang tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga Pemerintah Indonesia tidak mengakui sidang tersebut. Sidang yang sudah dilaksanakan mulai tanggal 10-13 November 2015 silam, mendapat berbagai tanggapan dari beberapa kalangan.

Pernyataan Menko Polhukam di berbagai media, "Untuk siapa kau minta maaf? Keluarga korban mana? Pembantaian mana? Sekarang saya tanya Westerling kalau mau, buka-bukaan dong, berapa banyak orang Indonesia dibunuh? Jadi jangan suara bule aja yang kalian dengerin, suara Indonesia juga didengerin".

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, kepada wartawan, juga mengatakan bahwa pengadilan di Belanda tidak usah ditanggapi karena Belanda juga banyak melakukan pelanggaran HAM.

Menteri Luar Negeri, Retno LP. Marsudi mengatakan, IPT 1965 itu bukan pengadilan benaran. Ini adalah pengadilan tanda kutip. Jadi ini bukan pengadilan benaran. "persidangan'' International People's Tribunal tersebut dilakukan di sebuah gereja di Den Haag dan seolah-olah dilakukan seperti ada sidang. Retno juga menegaskan, International People's Tribunal 1965 ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan pemerintah Belanda.

Menurut Pakar Hukum Internasional, Ko Swan Sik, sidang rakyat yang digelar di Den Haag, Belanda, itu tidak memiliki kekuatan hukum untuk menjadi rujukan dalam menjustifikasi siapa yang salah dan siapa yang benar di balik peristiwa 1965. Terlepas dari semua kesaksian yang telah disampaikan di sini, dengan sedikit agak berlebihan, sidang ini bisa dikatakan tidak lebih dari sebuah permainan.

Berdasarkan pernyataan menteri dan pakar hukum tersebut, sudah jelas jika IPT 1965 adalah Sidang yang Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum karena dibentuk oleh warga sipil biasa, berada di luar negara dan lembaga formal seperti PBB. Selain itu, sidang ini tidak ada hubungannya dengan pemerintahan Belanda, hanya saja banyak warga Indonesia yang bermukim disana dan sebagai panitia. Keanehan ini tentunya menjadi pertanyaan dan harus mendapat perhatian bagi Pemerintahan Indonesia meskipun tidak ada kekuatan hukum yang mengikat.

Jika ditelaah kembali, kasus 1965 ini tidak bisa dibawa ke Peradilan Formal karena sulitnya mencari bukti-bukti, terdakwa dan para korban. Lebih lanjut berbicara korban, justru banyak masyarakat sipil, kalangan agama dan beberapa petinggi TNI menjadi korban kebiadaban Partai Komunis Indonesia (PKI) pada waktu itu, dengan tujuan ingin menjadikan Negara Indonesia berhaluan kiri atau paham komunis. Jangan hanya melihat dari sisi korban PKI saja jika ingin berbicara keadilan dan HAM di Indonesia. Pemerintah tentunya mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan kasus ini sampai tuntas, namun butuh waktu yang tidak singkat.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun