Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Traveling di Situs Wadu Pa'a: Bukti Pengaruh Hindu-Budha di Tanah Para Ncuhi

8 Januari 2022   20:40 Diperbarui: 10 Januari 2022   17:01 1549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Wadu Pa'a atau Batu Pahat merupakan salah satu candi tebing yang merupakan adanya pengaruh Hindu Budha di Bima. Di situs ini terdapat arca, prasasti serta relief yang menjadi bukti pengaruh dan ajaran Hindu - Budha di ujung pulau Sumbawa ini. 

Lokasinya berada di pesisir barat teluk Bima, Dusun Sowa, Desa Kananta, Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Itulah secuil informasi yang menuntun saya untuk mengunjungi situs yang bersejarah ini. Sebuah perjalanan yang memberi kesan yang mendalam di awal tahun ini, Sabtu, 8 Januari 2022.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Semesta sudah cerah walau pun sapuan mentari pagi masih terhalang awan tipis saat kendaraan roda dua merek jupiter yang saya kendarai membelah jalanan di bagian barat teluk Bima. Di pinggir jalan yang masih lengang dengan kendaraan yang melintas, hamparan ladang dan sawah serta deretan rumah warga berjejer tenang. 

Jalanan yang saya lalui memang tidak seberapa besar namun mulai diaspal licin. Sesekali saya hanya berpapasan dengan motor ibu-ibu yang berjualan sayur di pagi hari.  Suaranya terdengar jelas saat menjajakan jualannya kepada warga sekitar.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Setelah keluar dari perkampungan padat penduduk, saya disambut hamparan teluk Bima yang tenang. Airnya surut. Beberapa perempuan terlihat mencari kerang. Saya berhenti sejenak untuk mengambil gambar dengan kamera hand phone di tangan. Hanya sesaat lalu kembali melajukan kendaraan. 

Kemudian kembali berhenti di sebuah dermaga kecil yang berfungsi sebagai tempat penyebrangan bagi masyarakat setempat, terlebih yang penyebrangan ke pelabuhan Bima di bagian timur teluk. Di dermaga ini, terlihat perahu-perahu berjejer menunggu penumpang. Beberapa motor melintas masuk menuju ke ujung dermaga. Sementara tidak jauh dari pelabuhan, terlihat onggokan pulau kambing yang berdiri angkuh di tengah teluk. Saya kembali mendokumentasikan momen ini.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Kembali saya berpacu dengan waktu saat mengendarai kuda besi yang akan membawa saya ke tempat tujuan. Semakin ke utara jalanan semakin kecil dengan turunan dan beberapa kali tanjakan yang menantang adrenalin. Belum lagi kelokan tajam yang sering menghadang. Namun pemandangan teluk Bima dengan air laut yang tenang seolah memberi rasa damai dalam hati. 

Belum lagi ladang jagung yang menghijau di antara gugusan bukit serupa menyambut saya dengan senyum sumringah. Saya sengaja memacu kendaraan dengan  pelan, selain karena khawatir terjatuh karena belum benar-benar menguasai medan, juga karena bisa sambil menikmati suguhan semesta yang memanjakan mata.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Setelah hampir satu jam perjalanan dari arah pasar Sila yang  berada di selatan, akhirnya saya sampai di Kecamatan Soromandi. Di sini saya terlebih dahulu bertandang di kediaman seorang sahabat atau lebih tepatnya adalah guru perjalanan. 

Sebut saja namanya bang Syarif. Beliau satu kampung dengan saya di selatan Kabupaten Dompu. Namun bang Syarif mendapatkan belahan jiwanya di kampung yang bersejarah ini. Bahkan saat saya datang terlihat beberapa orang sedang menggali tanah untuk dibangunnya rumah bagi keluarga kecilnya. Terlihat di atas meja beberapa gelas kopi hitam dengan pisang goreng di sampingnya.

Kami duduk sejenak sambil berbincang tentang persiapan perjalanan menuju Situs Wadu Pa'a. Bahkan menurut informasi yang di himpun bang Syarif, beberapa tahun belakangan ini warga yang memiliki ladang sekitar situs Wadu Pa'a sering menemukan barang antik, berupa emas bahkan pedang. 

Barang temuan itu biasanya dijual warga ke pedagang emas yang berada di kota Bima dengan harga yang tidak seberapa menggembirakan. Cerita bang Syarif membuat pantat saya tidak bisa duduk tenang, karena ingin sesegera mungkin menuju Situs Wadu Pa'a.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Sebelum terik matahari mulai menyengat kulit, kami kemudian memutuskan untuk bergegas menuju tempat tujuan. Dengan kendaraan masing-masing kami membelah jalanan. Di ujung kampung setelah melewati sekolah dasar, kendaraan kami disambut tanjakan yang menjulang tinggi yang berkelok di ujungnya. 

Kami berhasil, walau kendaraan saya merayap pelan sembari menghindari kubangan jalan yang rusak. Di atas bukit, hamparan laut sejauh mata memandang terlihat jelas. Perahu dan kapal Tilongkabila sedang keluar di mulut teluk saat kami datang. Viewnya sangat indah. Dengan melihat birunya laut, tiba-tiba saya teringat potongan lirik lagu group band Kaffeine.

"Berjalan di tepi pantai, tertiup angin berhembus sejuk hati damaikan diri melihat biru"

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dari atas bukit situs Wadu Pa'a sudah bisa terlihat jelas dengan pagar putih yang mengelilinginya di pinggir pantai. Kami hanya melewati beberapa kelokan dan satu tanjakan jalan yang menantang baru bisa sampai depan pintu masuk areal situs. 

Dari jalan raya, di depan pintu masuk terlihat tulisan Wisata Situs Wadu Pa'a yang terbuat dari bambu yang di belah dengan sapuan warna yang di beri simbol love. Sementara di sampingnya ada tembok yang sudah semen rapi yang bertuliskan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang di lanjutkan di bawahnya dengan tulisan Cagar Budaya Wadu Pa'a Kabupaten Bima.

Dokpri. Pintu masuk situs Wadu Pa'a
Dokpri. Pintu masuk situs Wadu Pa'a
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin

Di depan pintu masuk ini, saya bersama bang Syarif bergantian mengambil gambar dengan background teluk Bima yang harmonis. Jalan setapak menuju situs belum mendapat sentuhan kebijakan pemerintah. 

Onggokan bebatuan terlihat dipermukaan jalan. Licin dan 

cukup berbahaya. Kami melewati turunan jalan dengan cukup hati-hati dengan kaki kiri yang selalu menginjak tanah. Karena terpeleset sedikit saja, akibatnya bisa fatal. Tapi rasa penasaran menuntun kami untuk sesegera mungkin untuk bisa sampai di tempat tujuan.Memang jarak tidak terlalu jauh dari jalan raya, namun karena melewati jalanan yang rusak kami harus menghabiskan sekian menit waktu.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradi 
Dokpri. Suradi 
Setelah sampai di bawah pohon di dekat pantai, pandangan kami mendapat suguhan sampah yang berserakan serta kotoran hewan yang berada di beberapa titik. Terlihat pula beberapa gazebo dan tempat duduk tampak tidak terawat. Suasananya cukup sepi dan tenang. 

Saya tiba-tiba membayangkan jika pantai di dekat situs Wadu Pa'a ini dijaga dan di kelola dengan baik maka memungkinkan perputaran ekonomi di sektor wisata bisa memberikan efek positif bagi masyarakat setempat. 

Namun sejenak saya menepikan pikiran itu, lalu bergegas melihat situs dari jarak dekat. Namun sayang pintu pagarnya sudah terkunci, namun kali ini saya bersama bang Syarif memutuskan melanggar aturan dengan menaiki pagar yang tidak seberapa tinggi. Tapi saya berjanji dalam hati, tidak akan merusak situs. Saya akan berdosa jika melakukannya. Sementara salah satu misi pribadi saya adalah bagaimana situs Wadu Pa'a ini bisa dikenal luas oleh publik.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Di areal situs kembali saya dan bang Syarif bergantian mengambil gambar masing-masing. Terlihat beberapa patung yang dipahat mengalami kerusakan parah karena sudah ada yang dicoret oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Bahkan ada indikasi ingin di hancurkan karena terlihat ada patung yang menempel di dinding yang sudah rusak di salah satu bagiannya. Di dalam lubang terlihat pula tulisan yang memanjang dengan tampak seperti huruf sansekerta. Saya tidak bisa membacanya, apa lagi memahami maksudnya.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Kami kembali bergegas ke arah selatan dengan melewati jalan yang sudah mendapat sapuan semen di pinggir pantai. Suasana begitu lengang, hanya gemercik air dari arah tebing dan hempasan air laut yang tidak seberapa kencang menyapu tebing. Jarak antara situs yang berada di bagian utara dan selatan tidaklah seberapa jauh. Sekira dua kali selemparan batu orang dewasa dengan kekuatan maksimal.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Di situs bagian selatan kembali kami memutuskan meloncati pagar, karena pintu masuknya sudah digembok oleh penjaganya. Areal situs cukup bersih karena menurut informasi bahwa penjaganya sabang waktu akan selalu membersihkan situs yang bersejarah ini. Saya melepas pandang di antara tebing. 

Patung-patung yang dipahat di dinding tebing sebagian disinyalir sengaja dirusak, tapi syukur masih ada yang tersisa yang masih bisa di lihat oleh pengelana seperti saya. Terlihat pula tulisan di langit tebing yang berhuruf Belanda. Entah apa artinya saya hanya memendam tanya pada hati.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin 
Dokpri. Suradin 

Kembali saya mengambil gambar sebagai bukti kunjungan. Setelah sibuk berfoto ria, saya dan bang Syarif melepas lelah sambil berbincang di atas batang pohon yang mengarah ke arah teluk. Beruntungnya lagi kami bersama warga yang ikut nimbrung. Jadilah saya mendengar tuturan pria paruh bayah ini tentang keberadaan situs dan beberapa warga setempat yang sering menemukan peninggalan masa lalu di sekitar areal situs.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin

Menurutnya, sejak dulu di tempat tersebut masih dianggap keramat oleh warga setempat. Kisah-kisah mistik masih diyakini oleh beberapa kalangan. Terlebih di malam-malam tertentu. Dulu, sebelum gunung di sekitar situs digundul untuk pembukaan lahan jagung, ada banyak cerita warga yang berseliweran tentang hal-hal yang diluar nalar manusia normal. Dan hingga kini cerita-cerita serupa masih mengawet dalam tuturan tetua kampung.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Hempasan angin laut menyapa kami yang tengah bersemai kisah tentang peninggalan nenek moyang membuat kantuk mulai menyerang. Suasananya sungguh adem. Jauh dari hiruk pikuk kesibukan duniawi. Di sini kami melihat bukti bahwa ada kehidupan manusia di tempat ini. Ada nilai kehidupan yang ingin di sampaikan lewat peninggalan tersebut yang hingga kini masih menggenerasi.

Peninggalan ini sekiranya untuk tetap dijaga dan dirawat untuk generasi di masa yang akan datang. Karena masa lalu penting sebagai modal untuk membangun karakter generasi bangsa agar tidak terlena dan terjerumus pengaruh dari luar.

Setelah lama berbincang kami pun memutuskan untuk pulang dengan melangitkan harapan untuk bisa kembali lagi di tempat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun