Untuk sampai di Dusun Nanga Doro, kami menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Walau begitu, pemandangan yang tersaji sepanjang perjalanan begitu memanjakan mata. Mulai dari hamparan persawahan, gunung bersisian, sapuan angin laut menghilangkan gerah dan sampan di tambatkan di pesisir pantai. Semesta begitu murah hati menyajikan semuanya. Karena sambil bercerita, tidak terasa perjalanan jauh menjadi menyenangkan.
Tapi ada pemandangan yang sedikit miris dan cukup mengganggu lalu lintas kendaraan sekian kilo meter sebelum benar-benar sampai di Dusun Nanga Doro. Di beberapa kelokan jalan, semak belukar sangat membahayakan pengguna jalan. Pasalnya ranting-ranting pohon seolah ingin saling menyapa satu sama lain. Yang bisa digunakan hanya di tengah jalan saja. Karena di pinggirnya sudah dipenuhi tetumbuhan, baik tumbuhan merayap maupun pohon yang beranting panjang.
Bahkan kabar yang beredar di masyarakat setempat sudah beberapa kali terjadi kecelakaan yang diakibatkan oleh ranting pohon-pohon ini. Ada yang sempat di bersihkan, tapi karena memenuhi hampir sepanjang jalan, masyarakat sangat mengharapkan campur tangan pemerintah terkait agar semak belukar ini bisa di bersihkan sesegera mungkin. Bahkan ketika kami melewati jalan ini, kami harus menurunkan laju kendaraan karena berpapasan dengan sebuah mobil berjenis carry. Sebab, jika tidak begitu, bisa saja berakibat fatal karena merebut jalan yang tidak dirambaki semak belukar.
Bahkan teman yang kami sambangi rumahnya di Dusun Nanga Doro mengeluhkan hal itu. Ia berharap kiranya pemerintah bisa turun tangan dan mengajak masyarakat setempat bisa melakukan kegiatan gotong royong untuk membersihkan jalan tersebut. Selama ini menurutnya, sempat beberapa orang menginisiasi membersihkan jalan menuju Dusun Nanga Doro ini, tapi hanya beberapa meter saja yang sempat dibersihkan.
Teman ini bernama Syahbudin, tapi kami sering memanggilnya dengan Om Budin. Ia tinggal di Dusun Nanga Doro sudah cukup lama. Dengan keluarganya, ia sudah membangun rumah batu yang lumayan besar sebagai tempat tinggalnya. Mula-mula saya tidak diberi tahu tujuan bang Syarif dan Om Budin terkait pertemuan ini. Ternyata mereka punya agenda  menangkap lobster sembari mengambil kerang di pantai Sama. Pantai ini berada di selatan kampung. Jauh? Lumayan. Sekitar delapan kilo dari Dusun Nanga Doro.
Jangan di tanya ganasnya ombak di pantai Sama. Sebab pantai ini memiliki ombak setinggi rumah panggung dengan suara deburan bisa terdengar dari jarak lima kali selemparan batu. Walaupun tidak diberi tahu di awal, tapi saya menyambut baik rencana keduanya. Walaupun pernah ke pantai Sama sebelumnya, tapi Om Budin tetap menjadi pemandu perjalanan.
Kami menggunakan motor trail dan satu motor berawalan huruf R untuk sampai di pantai Sama. Saya boncengan dengan Om Budin, sementara Bang Syarif satu motor dengan bang Rangga temannya Om Budin. Sementara kendaraan saya di parkir di samping rumah, karena dianggap tidak layak menghadapi medan berat.
Dari Dusun Nanga Doro dua roda besi yang kami kendarai melaju lamban. Baru beberapa meter dari ujung rumah warga, sapuan angin laut benar-benar terasa. Bahkan sekedar hanya selfie di atas motor saja tangan tak kuat memegang handphone karena khawatir jatuh.
Saya benar-benar menikmati pemandangan yang disuguhkan semesta. Gunung memanjang dengan daun pohon yang merapat hingga tanah tak terlihat dari jauh. Jalannya sudah teraspal licin. Namun setelah melewati jembatan, kami harus melalui tanjakan dengan bebatuan besar buah longsor dari arah gunung. Tapi kendaraan kami masih bisa menyela di antara bebatuan yang memenuhi ruas jalan.
Jalan di atas gunung, saya memendam kagum ketika semesta dengan laut luas yang tak berujung terhampar di depan mata. Deburan ombak dari kejauhan mulai samar-samar terdengar. Birunya laut memberi kedamaian. Tuhan yang maha kuasa menyuguhkan kuasa lewat ciptaannya yang mengagumkan. Melihat itu, saya teringat lirik lagu dari band Kafein "Berjalan di tepi pantai, tertiup angin berhembus, sejuk hati damaikan melihat biru".
Lagi termenung menikmati hamparan laut biru, tiba-tiba motor melaju lambat karena melewati jalan bebatuan. Jalan ini pernah disentuh kebijakan birokrasi tapi tidak tuntas di selesaikan. Entah kapan ini selesai. Hanya mereka yang duduk di kursi empuk dengan segala kewenangannya yang ditunggu kemahamurahan hatinya untuk peduli terhadap jalan ini. Sebagai rakyat, kami hanya menaruh harap dan melangitkan doa kepada mereka yang punya kuasa.
Semakin ke selatan, jalan yang dilalui semakin sempit dengan semak belukar di kiri kanannya. Suara ombak bergemuruh semakin terdengar jelas. Â Jalan sangat sepi seolah tak ada kehidupan yang bersemai di tempat ini. Tapi kami terus melaju dan mengarah ke pantai. Di bibir pantai, kami memarkir kendaraan yang membawa kami di bibir samudra ini.
Kami bergegas. Air laut surut sekira dua kali lemparan batu dari bibir pantai. Hamparan karang menganga di permukaan. Saya lalu mencari kerang di sela karang dan bebatuan seukuran kursi. Om Budin yang terbiasa menyelam di laut lalu menceburkan diri dalam kubangan karang. Derasnya air laut tak membuat nyalinya terciut sedikitpun. Hanya saya menaruh kekhawatiran. Tapi yang lain tak sedikit pun merasa bimbang. Om Budin sudah mengakrabi  laut ini sejak lama. Mereka seolah sudah berkarib lama. Saling memahami satu sama lain. Ia begitu percaya diri dengan yang dilakukannya.
Selain sibuk mencari kerang, sesekali saya mendokumentasikan setiap inci momen dengan handphone mini di tangan. Saya menelusuri hamparan karang yang merupakan rumah bersama bagi beberapa spesies kerang. Ada yang bisa diambil, tapi tidak sedikit yang sulit diambil karena berada di lubang-lubang. Diperlukan alat tertentu untuk mencungkilnya.
Di pantai Sama, tidak banyak orang yang datang mengambil kerang. Di sini setiap pengunjung akan benar-benar menyatu dengan alam. Pantainya sangat alami. Gunung di timur pantai masih menghijau karena pohon masih asri. Ombak begitu perkasa menghantam karang yang menyisakan buih putih menyusuri hamparan bebatuan.
Tiba-tiba Om Budin memperlihatkan lobster tangkapannya. Ia menyelam hingga di kolom karang dengan derasnya air laut yang menerjang. Dengan segala pengalamannya ia bisa memutuskan kapan harus menyelam dan kapan muncul di permukaan walau arus cukup kencang. Tapi Om Budin nampaknya sudah terbiasa menyelam di laut lepas seperti ini.
Sekira dua jam kami berada di pantai Sama. Karena hari semakin sore, kami memutuskan untuk kembali sebelum genap malam menyelimuti semesta. Sejenak menghamparkan asa semoga kelak bisa kembali berpijak di pantai yang indah ini.