Dalam ajaran Buddha, puasa bukan merupakan kewajiban seperti dalam beberapa agama lain, tetapi lebih merupakan bagian dari latihan disiplin diri (sla) dan pengendalian nafsu keinginan (tanha). Puasa dalam Buddhisme bertujuan untuk membantu seseorang mengurangi keterikatan pada kenikmatan duniawi, menenangkan pikiran, serta meningkatkan konsentrasi dalam meditasi. Selain itu, puasa juga dianggap sebagai bentuk latihan untuk menumbuhkan kesabaran (khanti), ketahanan (viriya), serta kesadaran terhadap tubuh dan pikirannya sendiri (sati).
Praktik puasa memiliki berbagai variasi di dalam tradisi Buddhis, baik di kalangan umat awam maupun para bhikkhu dan bhikkhuni (biksu dan biksuni). Buddha sendiri menekankan konsep Jalan Tengah (Majjhima Patipada), yaitu tidak berlebihan dalam menikmati kesenangan duniawi, tetapi juga tidak menyiksa diri dengan pertapaan yang ekstrem (Ariyapariyesan Sutta, Majjhima Nikya 26).
1. Uposatha (Hari Suci Buddha)
Dalam tradisi Theravda, umat Buddha awam sering melakukan praktik puasa pada hari-hari suci yang disebut Uposatha. Uposatha adalah hari-hari tertentu dalam kalender lunar Buddhis, yaitu hari bulan purnama ( Cap Go), bulan gelap ( Ce It), dan dua hari lainnya di antara keduanya. Pada hari ini, umat Buddha meningkatkan praktik kebajikan, meditasi, serta menjauhi segala bentuk perilaku yang dapat menimbulkan kekotoran batin (kilesa).
Salah satu aspek penting dari praktik Uposatha adalah menjalankan Attha Sla atau Delapan Sila Moral, yang merupakan tambahan dari Paca Sla (Lima Sila) yang biasa dijalankan sehari-hari oleh umat awam. Salah satu sila dalam Attha Sla adalah tidak makan setelah tengah hari hingga fajar keesokan harinya. Praktik ini disebutkan dalam Uposatha Sutta (Aguttara Nikya 8.41) sebagai salah satu cara untuk meningkatkan disiplin diri dan mendukung latihan meditasi.
Menurut Walpola Rahula dalam "What the Buddha Taught" (1959), praktik Uposatha memiliki tujuan utama untuk membantu umat Buddha mengembangkan kesadaran penuh (sati), melatih pengendalian diri, dan membersihkan batin dari keinginan duniawi.
2. Puasa dalam Kehidupan Bhikkhu (Biksu & Bikshuni)
Dalam komunitas monastik Buddhis, para bhikkhu (biksu) dan bhikkhuni (biksuni) mengikuti aturan ketat dalam Vinaya (aturan disiplin monastik), termasuk dalam hal pola makan. Salah satu aturan yang umum diikuti oleh para bhikkhu dan bhikkhuni adalah tidak makan setelah tengah hari hingga fajar keesokan harinya. Aturan ini tercantum dalam Mahvagga (Vinaya Pitaka, Khandhaka 6.17.1), yang menyebutkan bahwa Buddha menetapkan aturan ini untuk membantu para bhikkhu mengurangi keterikatan pada makanan dan mendukung praktik meditasi.
Praktik ini memiliki berbagai manfaat, baik secara fisik maupun spiritual. Dari segi spiritual, tidak makan setelah tengah hari membantu para bhikkhu dan bhikkhuni untuk lebih fokus dalam latihan meditasi dan mengurangi gangguan yang berasal dari keinginan terhadap makanan. Dari segi fisik, penelitian oleh Dr. Alan Wallace dalam "The Attention Revolution" (2006) menunjukkan bahwa pola makan terbatas waktu (seperti yang dilakukan oleh para bhikkhu) dapat meningkatkan konsentrasi dan kejernihan pikiran.
Selain itu, aturan ini juga berfungsi untuk mengurangi keterikatan terhadap makanan dan mengajarkan kesederhanaan. Para bhikkhu dan bhikkhuni hidup dengan bergantung pada dana makanan dari umat awam, sehingga mereka tidak memilih-milih makanan dan hanya makan apa yang diberikan kepada mereka. Ini melatih mereka untuk mengembangkan sikap bersyukur (mudita), rendah hati, serta tidak terikat pada kenikmatan duniawi.