Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai bertanya. Tapi sejak kecil, aku merasa ada sesuatu yang menggelitik batinku setiap kali aku memandangi langit, hujan, atau angin malam.
Aku tumbuh di sebuah kampung kecil Namanya kampung Pereges, terletak tidak jauh dari perbatasan negara Indonesia dan Malaysia.
Jalan ke sekolah kulewati dengan kaki mungil dan tas kain. Suatu pagi, saat aku sedang berjalan ke sekolah, hujan tiba-tiba turun deras. Aku basah kuyup. Sesampainya di sekolah, guruku menyuruhku pulang. Aku mengiyakan, dengan izin dari wali kelas, dan aku melangkah pulang sambil gemetaran. Tapi bukan hanya tubuhku yang dingin, kepalaku juga penuh tanya. Celaka, Siapa yang menurunkan hujan ini? Kenapa datang tiba-tiba?
Beberapa hari kemudian pada hari Minggu setelah pulang dari Gereja, aku ikut ibu ke ladang. Panas siang sangat menyengat. Aku berjalan di belakangnya, pelan, sambil kembali bertanya: kenapa hari ini panas, padahal kemarin hujan? Kenapa bisa begini? Siapa yang mengatur semua ini?
Lalu suatu malam, aku duduk bersama bapakku di teras rumah. Ia merokok, memegang mug besar berisi kopi, dan angin sepoi-sepoi bertiup pelan. Ia berkata, "Kalau malam begini, biasanya mau kemarau." Aku menoleh dan bertanya, "Bapak tahu dari mana?" Ia menjawab, "Karena setiap tahun begitu."
"Setiap tahun begitu". Kalimat itu membuatku terdiam. Segalanya seperti sudah punya pola. Tapi... siapa yang menggambar polanya?
Beberapa minggu kemudian, aku dan teman-teman menerima rapor. Monika juara satu. Ibu guru berkata, "Monika adalah yang terbaik di kelas ini." Aku duduk di kursi paling belakang, dan pikiran kecilku berbisik: apakah ada yang lebih baik dari Monika? Lalu aku teringat anak kelas sebelah yang juga pintar. Mungkin dia lebih baik. Tapi... siapa yang paling baik di seluruh dunia? Dan... adakah yang paling sempurna dari segala yang baik?
Itu bukan pertama kalinya aku bertanya tentang yang tak terlihat.
Sebelumnya, aku pernah berkelahi dengan temanku Elman, gara-gara kelereng. Ia menangis dan mengancam akan mengadu ke abangnya. Aku pun tidak mau kalah, aku juga bilang akan mengadu ke abangku. Lalu dia bilang akan mengadu ke abang paling tuanya, aku juga. Sampai akhirnya dia bilang akan mengadu ke Tuhan. Aku pun menjawab, aku akan mengadu ke Bapa Tuhan. Dia menatapku tajam dan berkata: "Aku akan mengadu ke kakaknya Tuhan." Aku terdiam. Tapi tak mau kalah: "Aku akan mengadu ke bapaknya kakaknya Tuhan."
Debat itu tak pernah selesai. Tapi hari itu, kami bocah-bocah kecil telah menyentuh langit dengan kata-kata. Kami sedang bertanya tentang hierarki tertinggi, tentang asal dan otoritas, tanpa tahu bahwa kami sedang melangkah di Jalan Pertama dan Kedua Santo Thomas Aquinas.
Waktu terus berjalan. Aku menemukan buku astronomi di perpustakaan sekolah. Karena belum tahu buku bisa dipinjam, aku masukkan diam-diam ke tas, aku telah menjadi seorang pencuri. Di rumah, buku itu aku baca sampai selesai. Di sana aku tahu, ternyata matahari pusat tata surya, karna selama ini aku pikir bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi, sepertihalnya yang tampak dari bumi. Planet-planet lain mengelilinginya: Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptusus dan Pluto (dalam buku yang ku baca Pluto masih termasuk dalam daftar planet-planet yang ada di galaksi Bimasakti).