Menyayangi Ibu Tidak Harus Selalu Berada di Sampingnya
Ibu tercinta sudah berusia 85 tahun lebih. Beliau tinggal satu rumah dengan adik bungsu saya, Tarti. Ibu hanya berdua dengan adik bungsu di rumah peninggalan ayah kami. Kakak dan adik-adik yang lain tinggal tidak jauh dari rumah itu.Â
Pada saat adik Tarti pergi kerja, otomatis ibu tercinta tinggal seorang diri di rumah. Namun, adik-adik dan keponakan sering diminta untuk menemani ibu.
Ibu saya tidak sakit tetapi tetap perlu teman untuk sekadar diajak mengobrol atau membantu keperluan pribadi. Untuk berjalan dari kamar ke toilet atau keluar rumah untuk menjemur handuk, ibu saya masih sanggup. Tidak ada tongkat atau alat bantu yang digunakan untuk menopang badannya.
Kenikmatan sudah Dikurangi
Selain kurang lincah berjalan kaki, beberapa kenikmatan sudah dikurangi. Penglihatan sudah kurang waspada. Ibu sering bertanya, siapa orang yang mendekati dirinya atau orang yang mengajak bicara, padahal orang itu tepat berada di depannya (kurang dari satu meter).
Selain itu, pendengaran ibu juga sudah banyak berkurang. Kalau anak-anaknya berbicara pelan, ibu kurang mendengar. Untuk itu, kami perlu berbicara lebih nyaring agar ibu dapat menangkap suara yang kami ucapkan.
Hal itu sering harus diulang. Kalau hanya satu kali mengulang sebuah kalimat, sering ibu belum mendengar atau belum memahami maksudnya. Untuk itu, kami perlu bersabar untuk mengulang ucapan yang sudah disampaikan kepada ibu.
Disuruh Menemani di Rumah
Saya pensiun kerja sejak Februari 2024. Ibu meminta kepada saya untuk menemani di rumah Klaten, Jawa Tengah. Ibu mengharapkan agar saya bersedia pindah rumah. Hal itu dikatakan berulang-ulang pada saat saya mudik, baik sebelum maupun setelah saya pensiun kerja.
Atas usulan itu, saya tidak menolak dan juga tidak mengiyakan. Saya hanya mengatakan akan lebih sering menemani ibu di rumah Klaten.
Saya memiliki saudara tujuh orang dan dua di antaranya sudah meninggal dunia. Berarti masih ada enam anak-anak ibu yang siap menemani di rumah.
Selain saya, berarti ada lima anak-anak ibu yang siap dipanggil untuk menemani di rumah. Namun, ibu tetap meminta saya untuk pindah rumah.
"Rumah di Kalimantan dijual. Gaji pensiun pindah ke Klaten!" Demikian saran ibu yang hanya saya iya-iyakan. Ada beberapa alasan yang dikemukakan ibu agar saya bersedia pindah ke Klaten, kabupaten tempat saya dilahirkan. Ya. Saya dilahirkan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Namun, sejak usia 23 tahun, tepatnya tahun 1987 saya menjalankan tugas sebagai CPNS di Kalimantan Timur. KTP (Kartu Tanda Penduduk) saya sudah berganti.
"Saudaramu semua punya tanggungan masing-masing. Mereka tidak dapat menemani hingga lama di rumah!" Demikian alasan ibu yang disampaikan.
Saya pun tersenyum. Apakah saya tidak mempunyai tanggungan pula di Kalimantan? Anak pertama memang sudah pindah domisili di Lampung. Anak kedua, nge-kos di Jakarta. Kemudian, anak ketiga masih ada di Kalimantan Timur. Anak ketiga masih menjadi tanggungan kami.
Ibu Ingin Dekat dengan Anak-Anak
Saya memahami  bahwa seorang ibu tidak ingin jauh-jauh dengan anak-anaknya. Apalagi status ibu sudah janda. Tentu beliau sangat ingin ditemani sepanjang hari oleh anak-anak atau cucu-cucunya.
Padahal, jika saya terlalu lama bersama ibu, sering ibu menyuruh saya pergi ke rumah kakak saya yang mempunyai warung tidak jauh dari rumah ibu.
"Coba, jalan ke rumah kakakmu sana!"
Mungkin ibu tidak ingin selalu dipantau aktivitasnya. Gerak-gerik ibu memang masih wajar tetapi sering membuat anak-anaknya khawatir. Betapa tidak, ibu masih sering ingin mengurusi pakaian di tali jemuran.
Untuk urusan mencuci, ibu memang sudah tidak sanggup mencuci pakaian pribadi. Namun, untuk urusan jemuran, ibu sangat peduli. Pakaian yang dijemur pada tali jemuran selalu dipantaunya.
Dalam satu hari mungkin dua atau tiga kali ibu membolak-balik pakaian yang dijemur. Beliau berharap dengan membolak-balik atau memindahkan posisi pakaian yang dijemur, proses pengeringan akan berjalan lebih cepat.Â
Saya sering menegur ibu karena untuk menuju tempat pakaian dijemur, ibu harus naik dan turun tangga rumah. Hal itu yang membuat kami khawatir. Bagaimana kalau sampai tergelincur pada saat naik dan turun anak tangga? Memang anak tangga tidak tinggi dan ibu selalu berpegangan pintu dan dinding saat naik atau turun tangga.
Berhubung ditegur tidak mempan, kami yang melihat aktivitas ibu hanya dapat melihat dan memperhatikan gerak-geriknya. Namun, ketika sudah terlalu sering naik dan turun tangga, saya sering mencegahnya dengan mengatakan bahwa pakaian yang dijemur sudah kering dan sudah diangkat semua! Â Barulah ibu berhenti, tidak berjalan keluar rumah.
Perlu Sabar dan Teliti
Menemani ibu di rumah perlu memiliki kesabaran yang cukup tinggi. Ibu sudah memiliki jadwal aktivitas sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Ada jam dinding yang dapat berbunyi dengan menyebutkan bilangan waktu sesuai yang tertera pada jam dinding. Pada saat pukul tujuh pagi, ada bunyi sebanyak tujuh kali. Nah, pada saat itulah waktu ibu untuk mandi pagi (kadang sebelum pukul tujuh ibu sudah ingin mandi).
Repotnya untuk persiapan mandi pada sore hari. Pada saat jam dinding bunyi tiga kali (pukul 15.00), air untuk mandi sudah harus direbus. Kami anak-anaknya yang menemani ibu sering kelupaan karena sedang istirahat atau keperluan lain. Saat itulah ibu sering turun tangan sendiri dengan menyalakan kompor gas.
Kalau saya kebetulan melihat, cepat-cepat saya ambil alih. Jika saya tidak melihat, ya kompor sudah menyala. Rasa bersalah pun muncul.
Setelah air mendidih, cepat-cepat kami memindahkan ke bak mandi yang sudah disiapkan sendiri oleh ibu. Untuk menyiapkan bak mandi (semacam ember besar) ibu memang masih bisa. Bak yang semula tertelungkup, beliau balik. Kemudian, kran dibuka. Ada pipa atau selang pendek yang dapat disalurkan ke dalam bak mandi.
Tentu saja untuk mandi perlu campuran air dingin dan air mendidih. Perbandingannya biar ibu yang mengatur. Bak cukup lebar sedangkan air mendidih hanya sepersekiannya saja.
Saya merasa beruntung karena masih sempat menemani ibu yang sudah berusia 85 tahun lebih. Jadwal sehari-hari ibu sudah saya pahami. Dengan demikian, kami hanya memantau rutinitas ibu. Untuk urusan makan, ibu hanya makan bubur nasi yang lembek. Bubur itu dibeli. Sekali beli untuk tiga kali makan. Jadi, ada tiga bungkus bubur yang dibeli pada pagi hari.Â
Satu bungkus untuk makan pagi. Satu bungkus untuk makan siang. Satu bungkus untuk makan sore. Di sela-sela itu, ibu membuat minuman yang beraneka rupa.
Untuk minuman , ibu membiasakan beberapa jenis minuman. Selain air putih, ada susu, kopi, dan minuman herbal. Untuk buah-buahan, ibu gemar makan  buah jeruk. Kadang-kadang minta dibelikan buah pisang.
Untuk kebutuhan makan empat sehat lima sempurna, ibu tahu betul. Bahkan, pada saat saya makan bersama ibu selalu diingatkan untuk makan  buah jeruk. Padahal saya kurang suka makan buah jeruk. Ada jenis buah-buahan lain yang saya sukai. sering buah jeruk yang disodorkan ke dekat piring saya makan, segera saya kembalikan ke tempat buah saat ibu tidak melihatnya.
Untuk menyenangkan hati ibu, saya tidak dapat menolak dengan frontal. Perlu kehati-hatian dalam menghadapi orang tua. Jika kami tidka menyukai sesuatu, perlu disampaikan dengan hati-hati.
Adik Tarti yang biasa menyampaikan hal-hal yang tidak saya sukai atau hal-hal yang saya inginkan untuk kebaikan ibu. Misalnya, ibu yang terlalu sering  minum kopi saset, saya minta untuk dikurangi atau dihentikan. Adik Tarti yang sudah terbiasa berbicara dengan ibu sebagai perantara. saya tidak tega berkata secara langsung.
Ditulis di Penajam, 20 September 2025 Â Â Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI