Rasulullah SAW bersabda, "Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami)". (HR. Muslim:2137)
Nafkah istri dan uang belanja adalah dua hal yang berbeda, tidak sedikit orang beranggapan bahwa nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya adalah uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya saja, atau yang disebut dengan uang belanja.
Padahal kedua hal tersebut berbeda, uang belanja berupa uang untuk memenuhi kebutuhan yang digunakan sehari-hari, sedangkan nafkah istri adalah hal yang khusus diberikan kepada istrinya (uang jajan).Â
Karena hal ini juga sudah kewajiban seorang suami untuk memberi nafkah kepada istrinya berupa uang belanja maupun uang nafkah untuk istri atau uang jajannya. Rasulullah SAW bersabda, "Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami)". (HR. Muslim:2137).Â
Dalam hadist ini disebutkan ada dua nafkah yang wajib diberikan seorang suami kepada istrinya, namun tetap sesuai dengan kemampuannya dalam memberikan hak istri tersebut.
Selanjutnya agar lebih jelas, silahkan simak penjelasan dibawah ini:
1.Istri itu memiliki hak belanja (uang saku istri) yang harus dipenuhi oleh suami ketika suami mampu untuk memenuhinya, setelah kebutuhan dasar dalam keluarga tersebut terpenuhi. Sebagaimana firman Allah SWT ".....dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf....." (QS.Al-Baqarah:233).
Dan juga dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW, ".......dan hak mereka (para istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dengan cara yang baik". Dalam dalil nash tersebut menjelaskan bahwa nafkah bersifat umum meliputi kebutuhan ekonomi keluarga, kebutuhan istri, dan kebutuhan suami sebagai personal. Tetapi, hal ini juga menjadi sebuah kelaziman bahwa hak belanja dan uang saku istri bagian dari kebutuhannya.
2.Tidak ada angka minimal atau besaran spesifik nominal mata uang yang harus disediakan oleh suami. Hal tersebut merujuk pada kemampuan dan kelaziman pada masyarakat umumnya. Sebagaimana firman Allah SWT, "Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan". (QS. At-Talaq:7).
Hal ini juga terdapat dalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, "Suami memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya", dan selanjutnya dalam ayat 2 "Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya". Dengan adanya dalil nash dan dasar hukum diatas sudah jelas bahwasannya nafkah yang diberikan kepada istri itu tergantung kemampuan suaminya.
3.Kedua pasangan suami-istri harus bermusyawarah apa saja hal yang harus dipenuhi dalam rumah tangganya, dan berapa jumlah alokasi uang belanja (uang saku istri). Semua itu tergantung berdasarkan musyawarah suami-istri tersebut, karena saling memahami dan saling merelakan kebutuhan antara suami-istri untuk memenuhi dan menentukan kebutuhan finansial itu menjadi adab terbaik dalam berumah tangga.
Apabila suami tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan finansial itu, baik itu karena terbatasnya pendapatan (gaji) atau besarnya tanggung jawab nafkah, maka dengan hal ini sesungguhnya Allah SWT tidak membebani hamba-Nya diluar kemampuannya selama sudah berikhtiar semaksimal mungkin.
4.Selanjutnya harus qanaah dan bersyukur. Kemampuan suami dalam menyediakan nafkah keluarga itu terbatas dalam artian sudah sesuai dengan maksimal dan proporsional, maka kedua suami-istri tersebut harus menerima nafkah itu dengan rasa syukur kepada Allah SWT.
Wallahu'alam.....
Selengkapnya bisa dibaca di http://bit.ly/MuamalahDaily_