Bismillah,
Alhamdulillah. Allahumma shaliala muhammad. Keluarga ayah saya pindahkan ke kota. Tentu ada alasan mengapa. Banyak tulisan tentang ini. Tetapi kali ini ada kaitannya dengan beras. Pagi ini ada tulisan yang komprehensif tentang Hebatnya Beras. Apa kaitan antara tulisan ini dengan beras hendak dijelaskan di sini.
Hebatnya Beras
Pagi ini di grup WA desa saya  ada tulisan yang mengupas tentang "hebatnya Beras". Saya teringat dengan alasan mengapa saya membujuk keluarga saya (penulis) untuk pindah ke kota segera setelah saya ke kota. Saya berasal dari desa terpencil di kabupaten Bengkulu Selatan. Ayah saya alhamdulillah berhasil menghantarkan saya sebagai anak tertua ke jenjang pendidikan S1 kala itu di Universitas Negeri alias milik pemerintah.
Walau saya belum punya gaji yang memadai karena masih sebagai dosen honorer di kampus saya ketika kuliah, namun saya memberanikan diri untuk membujuk ayah, ibu, kakek, adik-adik untuk pindah ke kota.
Membawa beras untuk 2 bulan
Memindahkan keluarga ayah ke kota memang tidak dipersiapkan dengan matang. Saya hanya menyiapkan rumah di rawa kawasan Bukit Baru kelurahan bukit Lama Kecamatan Ilir Barat I Palembang. Ayah, ibu, kakek dan adik-adik, saya ajak pindah dengan modal "tawakal kepada Allah". Yang mau kuliah, saya kuliahkan dengan modal bayar SPP di belakang. Yang SMA, SMP dan SD monggo sekolah dengan baik. Biaya SPP juga akan disiapkan dengan menunggu pasokan dari langit. Alhamdulillah yang tekun dan sabar "berhasil".Â
Mengapa pindah?
Saya sudah "meramalkan" bahwa keluarga ayahku takkan mampu menyekolahkan adik-adikku yang berjumlah 5 orang. Mengapa? Karena saya bisa membaca bahwa ayah saya hanya bertanam padi sekali setahun. Itupun hanya untuk makan atau pernah sebagai bayar untuk sewa tempat kos dan beli sayur setiap bulan saja.
Ayah saya memang punya kebun kopi tetapi tanaman kopi hanya bertahan 5 tahun lebih sedikit sesudah panen "agung". Sesudah itu produksi akan menurun. Saya kasihan dengan ayah jika harus bertahan di desa dengan pertanian pola "mono cropping". Saya bahkan ingin mengajak ayah untuk menjadi petani nodern di kota.
Keragaman pangan
Sejak 50 tahun yang lalu, pemerintah RI ada berbuat kesalahan yang terus berlanjut sampai sekarang yakni menjadikan beras atau nasi sebagai makanan pokok nasional. Akibat dari kebijakan ini banyak daerah yang menghasilkan sekaligus mengkonsumsi non beras berubah menjadi pengkonsumsi beras. Misalnya Papua dan Maluku yang awalnya memakan sagu sebagai makanan pokok beralih kepada beras. Madura dan sebagian jawa yang mengkonsumsi ubi kayu sebagai makanan pokok berubah  menjadi pemakan beras atau nasi. Demikian jiga ada masyarakat penghasil dan pengkonsumsi jagung menjadi pemakan beras alias nasi.
Segera setelah keluarga ayah tiba di kota, saya mengusahakan untuk membeli lahan yang bisa diusahakan tempat ayah membangun pertanian intensif non-padi. Untuk tanaman tahunan saya belikan rambutan dan jeruk. Ayah, saya ajari menerapkan pertanian intensif dengan mengabungkan sistem pengolahan tanah, pengapuran, pemupukan, penggunaan varietas unggul, irigasi, pemberantasan hama dab penyakit serta pemasaran.
Cukup untuk konsumsi sendiri plusÂ
Selama saya mengikuti pendidikan di luar negeri keluarga ayah diberi kesempatan untuk membangun keluarganya untuk menjadi keluarga yang semakin sejahtera yakni cukup pangan, cukup pendidikan, cukup ibadah kepada Allah dsb. Alhamdulillah adik-adik sekolah sampai ke jenjang S1 sebanyak 3 orang dan jenjang SMA 1 orang. Ayah dan ibu sempat satu kali melaksanakan umroh ramadhan. Penulis sempat juga mengajak ibu, anak-anak, mantu dan cucu menunaikan umroh bersama.Â
Demikianlah tulisan ini telah mencoba mengungkapkan alasan memindahkan leluarga ayah ke kota karena ingin menghindarkan sisi negatif dari bertanam "mono cropping" padi yang bisa memarjinalkan penanamnya. Karena rente dari bertanam padi makin lama makin rendah jika tidak ada penambahan nilai tambah melalu industri pengolahan hasil pasca panen.
Jayalah kita semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI