Mohon tunggu...
Supli rahim
Supli rahim Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Orang biasa yang ingin mengajak masuk surga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fadhilah Menjadi Pemurah

17 Januari 2022   02:38 Diperbarui: 18 Januari 2022   01:04 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bismillah,

Saya adalah anak tertua dari keluarga ayah dan ibu saya yang terlahir di desa terpencil. Alhamdulillah keluarga ayah sangat pemurah walau hidup susah. Karena pemurah itulah keluarga ayah hidup barokah. Tulisan ini menceritakan perjalanan hidup penulis sebagai anak tertua dari 8 bersaudara, pindah ke kota.

Kakekku pemurah

Setelah ayah menikahi ibu di desa ibu, ayah memutuskan menetap di desa ibu bersama kakek dan nenekku. Ayah tidak ada lagi ayah dan ibu alias yatim piatu sejak kecil. Namun begitu dia selalu mengajak dua adiknya. Satu bujang satu janda dengan satu anak. Mereka diajak membangun kebun sendiri-sendiri di dekat kebun ayah. Dengan begitu mereka ada penghasilan dan ada rasa aman karena dekat abang. Juga mereka mengajak 1 keponakan dari anak abang mereka yang sudah meninggal. Bersama mereka ada juga dua abang ibu saya yang berkebun bertetangga dengan kebun ayah. 

Ayah ibuku pemurah


Ayah ibuku sangat disenangi oleh keponakan mereka baik dari sebelah ibu maupun dari sebelah ayah. Itu disebabkan karena ayah pandai memempatkan diri. Ayah dan ibu sangat pemurah kepada para keponakan tanpa membedakan dari sebelah ayah atau ibu. Mereka juga mengenali baik keponakan mereka. Ayah pernah membelilan rokok untuk keponakan tetapi tidak untuk anak-anaknya. Ayah setiap bertamu demgan keluarga, guru anak-anaknya, kenalan pasti membawa buah tangan alias oleh-oleh. Entah itu makanan atau buah, pernah juga bubuk kopi atau biji kopi.

Pindah ke kota

Setelah menamatkan S1 di Universitas Sriwijaya, penulis memusyawarahkan kepada ayah dan ibu untuk membawa satu adik yang akan bersekolah di SMP. Ayah dan ibu setuju. Pada saat yang bersamaan ada kakak perempuannya ingin ikut juga. Maka penulis ajak mereka berdua ke kota Musi. Jadilah kami bertiga menempati 1 kamar di mess dosen di sebuah komplek perumahan dosen UNSRI kala itu. 

Tahun itu juga kami pindah ke rumah sewaan yang tidak jauh dari mess dosen yakni di swbuah bedeng yang lumayan besar. Tahun yang sama ada pegawai di kantor penulis pemilik bedeng itu  menawarkan tanah untuk membeli tanah untuk buat rumah dengan luas 20x30 m. Tanah tersebut adalah tanah rawa tetapi sudah banyak rumah yang dibangun di sekitar tanah itu. Penulis membujuk ayah untuk mulai mmbangun rumah panggung di tanah tersebut. Ayah setuju. Pendek kata tahun kedua membawa 2 adik itu barokah karena penulis berhasil membangun gubuk untuk ditempati bersama ayah ibu jika mereka mau.

Alhamdulillah pada penghujung tahun kedua sebagai dosen muda, penulis mencoba mengajak ayah dan ibu serta adik-adik dan kakek pindah ke lota. Di desa banyak bisik-bisik tetangga yang tidao setuju dengan "ide gila" tersebut. Tetapi kami melakukan "bedol rumah" tersebut atas dasar musyarawah dan yakin kepada kasih sayang Allah.

Gaji diserahkan pada ibu

Penulis alhamdulillah merasa bahwa jiwa dan raganya adalah produk kasih sayang ayah dan ibu. Jadi tidak ada sedikitpun miliknya. Benar saja dari ujung rambut sampai ujung kaki, penulis adalah hak ibu dan ayahku. Dihamilkan, dilahirkan, disusui, dibesarkan dan disekolahkan oleh ibu dan ayahku. Karena itu wahai ibu peganglah gaji beta ini. Itu yang penulis katakan pada ibu saat itu. Ibu memang bendara hebat dari keluarga ayahku. 

 Adik-adik semua sekolah kecuali ada adik yang sempat kuliah 3 bulan di Fakultas Ekonomi Universitas Swasta kala itu. Dia memutuskan untuk menikah dengan anggota Brimobda. Penulis tidak berkeberatan. Ayah dan ibu juga mengizinkan. 

Bekerja di perusahaan asing

Penulis merasa bersyukur kepada Allah karena diberi amanah untuk bekerja menjadi konterpart orang Inggeris di perusahaan asing. Dari pekerjaan itu penulis tidak hanya memperoleh gaji tetapi memperoleh "link" untuk sekolah fi Inggeris. Seorang leader di perusahaan itu adalah Dr Peter Seal, sedangkan konterpart saya David Billing dekat dengan kampus University of Cranfield. Ketika pulang libur saya yang menggantikan pekerjaan David. Beliau senang sekali karena saya "tidak pelit" padanya.  Pulang dari Inggeris David sudah membawa "Letter of Acceptance" untuk saya kuliah Master degree di Inggeris.

Dari gaji itu ayah ibuku bisa menyiapkan melakukan pesta untuk menikahkan adik perempuan penulis. Pesta harus dilakukan di rumah sepupu ayah karena rumah kami kala itu banjir. Tentu saja ada sejumlah permitaan dari keluarga sepupu ayah antara lain minta agar rumah mereka dicat dan memasang tenda dsb. Alhamdulillah kami tidak berkeberatan karena kita memang menumpang.

Pada acara akad nikah pagi hingga siang hari banyak undangan yang hadir. Sore hari sepulang dari kantor banyak pegawai kantor dari perusahaan tempat penulis bekerja hadir pada acara resepsi di sore hari itu. Banyak bule yang menyempatkan diri hadir pada acara tersebut. Alhamdulillah.

Fadhilah jadi pemurah

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji (700× lipat). Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Penulis memperoleh kesempatan untuk memahami fadhilah menjadi pemurah mulai dari pemurah kepada orangtua, kepada saudara, kepada anak, kepada teman, kerabat dan kepada orang miskin dan anak yatim. Yang didepan mata adalah membelikan ayah dan ibu rumah, diganti Allah lebih banyak. Menyekolahkan adik-adik dibalas dengan kemampuan menyekolahkan anak dan istri, mengumrohkan orangtua dan anak mantu dibalas oleh Allah dengan bermacam-macam kenikmatan lain. Alhamdulillah. Pendek kata penulis ingin menutup tulisan ini dengan kata "jangan pelit", itu merugikan. "Menjadi pemurah" tidak akan pernah rugi. Di dunia baru diberi 1 persen. Sisanya diberikan di alam kubur dan di surganya Allah swt.

Jayalah kita semua


Referensi: https://tafsirweb.com/1027-surat-al-baqarah-ayat-261.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun