Mohon tunggu...
Supadma Kerta Buana
Supadma Kerta Buana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tahun ke-5 Dilingsirkan, Kesetiaan Kasih Pengabdian

16 Februari 2017   11:53 Diperbarui: 16 Februari 2017   12:06 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah sudah ditakdirkan atau memang harus mengikuti jalan-Nya. Aku merasa dunia telah mengatur hidupku, sampai suatu ketika seorang kawan bertanya begini "anda tidak takut mencoba melakukan ini?" tanya kawanku tentang keberanianku melawan pergulatan rohani di kala terbilang masih muda.

"Kenapa takut? ada yang salah kah? takdir sudah berjalan sesuai dengan kehendak-Nya," begitu jawabku. Seolah ingin membangkitkan rasa keingin tahuannya, kawanku ini kembali mengusik pertanyaan yang cukup menarik, "kenapa anda siap sedangkan semua anda harus tinggalkan?". "aku tidak meninggalkan semuanya, semua masih aku lakukan seperti apa yang harus dilakukan di masa muda. Hanya saja duniaku terbagi dua, pertama kewajiban dan yang kedua kehidupan. Kewajiban adalah sesana secara khusus, sementara kehidupan adalah kelangsungan hidupku," jawabku.

"Terus bagaimana anda membaginya?"
"Membagi dengan proporsi yang sama, asal saja jangan sampai lupa saja. Kita punya keyakinan, kita juga punya kehidupan," kataku.
"Apa cukup mudah untuk anda lakukan?"
"Setiap orang punya kewajiban, setiap orang punya takdir dan setiap orang punya cara untuk melakukannya. Aku rasa cukup sulit karena itu tadi harus membaginya, tidak boleh ada yang terlalu jika tak ingin dibingungkan," jelasku.

Semakin terusik penasaran kawanku hingga bertanya semakin menusuk, "anda sebut membingungkan, apa itu? apa ada pengalaman yang anda tidak bisa lupakan?".
"Begini, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi karena terkadang semua adalah Kuasa-Nya. Semua adalah proses yang kadang terlihat maupun tidak terlihat. Kalau pengalaman cukup banyak, dulu pernah aku diacuhkan, dihina, dilecehkan, dicampahkan bahkan pernah juga di depan mata ku sendiri terdengar melecehkan dengan kata-kata tak pantas diucapkan di tempat suci, tetapi aku tidak tanggapi itu. Entah jalan Tuhan kita tidak pernah tau kalau yang begitu-begitu ahirnya sadar dan tidak lagi berani demikian sampai saat ini," jawabku.

"Ada lagi pengalaman lain?" tanya ia penasaran.
"Aku bisa saja cerita, tapi kalau tidak masuk logika orang terkadang orang tak percaya. Tapi yang jelas aku merasa dunia ini telah membawa dan mengarahkanku kesana hingga ahirnya aku jatuh cinta pada-Nya," kataku tersenyum.

"Ini menarik, maksud anda jatuh cinta itu bagaimana?" tanyanya menginterogasiku.
"Sejak balita kata orang tuaku, aku selalu menyebut Ida Sesuhunan, dengan keluguan pada masa itu aku katanya menyebut dan mencoba melafalkan mantra seperti celotehan ala anak kecil. Seiring waktu berlalu, saat memasuki remaja aku merasa jatuh cinta sama yang wujudnya seram dan menakutkan itu. Entah awalnya darimana tanpa proses pandangan pertama aku mulai tertarik. Setiap piodalan aku mendekat, selalu mendekat. Hingga ahirnya tahun 2012 rasanya seperti ditarik. Saat itu almarhum kakekku yang biasa menarikan (nyolahin) karena sudah tua dan aku memberanikan diri. Modalku tekad pasrah ngayah dan kebetulan saat itu akan juga sudah diwinten sari sebagai proses mahasisya upanayana di kampus tempatku belajar agama. Sampai proses itu terus berlanjut yang puncaknya tahun 2013 dimana saat itu sesuhunan dipugar ulang (hayum). Saat itu aku mulai mengajak kawan-kawan yang senang ngayah, dan saat itu aku juga sudah cukup siap untuk sekala niskala," paparku.

"Siap sekala niskala, maksudnya?".
"Ya, secara sekala dalam diri sudah dibersihkan, dan secara niskala Beliau telah berkenan," jawabku.
"Apa yang anda rasakan sampai saat ini?"
"Meskipun berat, iya namanya saja kewajiban harus dilalui dengan ikhlas. Meski terbatas dalam berbagai hal namun harus dinikmati. Tentu hidup juga dinikmati dong?, namun tetap ada batasnya lah hehehe. Suka dan duka itu berdampingan, ya dinikmati dan disyukuri saja. Anggap saja mungkin memang menjadi orang terpilih," kataku.

Begitulah takdir, tidak ada alasan lain untuk tidak mengerti. Semua terasa begitu nyata namun terkadang pun tak nyata. Tampak atau tak tampak memiliki sekat yang cukup tipis meskipun tak terlihat sekalipun. Namun dunia sesungguhnya mungkin telah membuat garis dan takdir untuk dilalui oleh setiap orang untuk mengabdikan diri kepada-Nya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun