Ilustrasi kedua ialah Heteronormalisasi dalam Islam Georg Klauda. Orang Islam dalam asumsi Barat umumnya tertutup dan tidak toleran terhadap gay/lesbian. Sehingga pemerintah negara bagian Baden-Württemberg tahun 2005/2006 menggunakan asumsi ini khusus dalam mewawancarai imigran Muslim yang bermaksud menetap di Jerman. Imigran yang bukan muslim tidak diberikan pertanyaan ini. Pertanyaan yang diajukan adalah “Bayangkan anak laki-laki Anda yang sudah dewasa datang pada Anda lalu menyampaikan bahwa dirinya homoseksual dan ingin hidup bersama dengan seorang laki-laki. Bagaimana reaksi Anda?”. Hal ini bertujuan memastikan apakah pandangan-pandangan imigran ini “sesuai dengan nilai Barat?”. Kenyataannya homofobia tetap sangat kuat di negara-negara Barat (menurut survey TNS Emnid tahun 2001, 80 % laki-laki Jerman akan memberi respon negatif seandainya salah satu anaknya menjadi gay/lesbian). Jadi yang yang disebut sesuai dengan nilai barat dengan memiliki toleransi terhadap homoseksualitas kenyataanya tidak beralasan.
Di dunia Islam menurut Georg Klauda homoerotis antara dua laki-laki merupakan hal biasa. Hal ini bisa ditemukan dalam Puisi Abu Nawas (756-814) yang menggambarkan hal tersebut. Homoerotis berbeda dengan homoseksual. Dalam homoerotis hubungan seksual antar laki-laki bersifat sementara dan hanya berupa tindakan saja dan diperlakukan sebagai pelanggaran biasa. Pelakunya kemudian bisa menikah dengan perempuan. Sedangkan homoseksual bersifat permanen sebagai sebuah identitas dan hal ini dianggap kejahatan. Homoerotis sudah berlangsung lama dalam peradaban manusia, sedangkan homoseksual merupakan hal baru yang muncul pada abad ke 19 dengan tokoh yaitu Michel Foucault.
Penjajah Eropa membawa homofobia ke dalam dunia Islam. Hubungan antar laki-laki yang sebelumnya dianggap wajar, dipandang menjijikan oleh orang Eropa. Kaum pribumi terpelajar (dalam arti: berpendidikan ala Eropa) mengadopsi homofobia penjajah. Yang dipandang sebagai prilaku “beradab” adalah menjauhi sama sekali hubungan homoerotis. Sehingga bila ada laki-laki yang bersahabat lalu berpegangan tangan dianggap hal memalukan. Apalagi bila memiliki perasaan mendalam sebagai seorang sahabat. Padahal dalam tradisi Islam sangat mungkin dua orang laki-laki memiliki ikatan persahabatan yang erat bahkan bisa saling bertaruh nyawa.
Ilustrasi yang ketiga untuk melihat kompleksitas gender pascakolonialitas ialah wacana tentang jilbab. Eurocentrisme wacana feminis melihat bahwa persoalan yang dihadapi perempuan seakan-akan sama seluruh dunia. Semua perempuan dianggap memiliki kebutuhan yang sama yaitu mencapai “kebebasan” dan “kemajuan” versi Barat. Sehingga jilbab dalam pandangan Eurocentrisme menjadi lambang ketertindasan perempuan dan menjadi indikasi keterbelakangan sebuah bangsa. Padahal jilbab memiliki konteks hiistorisnya sendiri. Hal ini dibahas oleh Fadwa El Guindi ‘Veiling Resistance’ (1999).
Jilbab dalam konteks historisnya di Mesir tahun 70an ialah ada gerakan mahasiswa (gerakan dari bawah, bukan atas inisiatif institusi agama/negara) yang menggunakan “pakaian Islami”. Pakaian tersebut mereka jahit sendiri karena belum dijual di toko-toko. makna pakaian tersebut: melawan nilai-nilai Barat seperti materialisme, konsumerisme. Sedangkan jilbab dalam konteks ke dua juga di Mesir pada zaman kolonial: unveiling (membuka penutup wajah) menjadi simbol penting yang menandakan “kemajuan”. Aksi unveiling feminis Huda Sha’rawi 1923 menjadi debat pro-kontra jilbab mendominasi wacana terutama antara laki-laki. Dalam konteks ketiga 3. Iran: Shah melarang jilbab/chador dalam rangka modernisasi/ westernisasi (1938). Setelah revolusi Islam, di bawah perintah Ayatollah Khomeini hijab diwajibkan. Dari ketiga konteks jilbab ini, jilbab kerap dijadikan simbol, namun tepatnya makna apa tergantuk konteks yang sedang terjadi. Maka sangat sembrono kalau kita atau Feminis Barat menilainya sebagai simbol penindasan perempuan.
Setelah menyimak dan mencoba memahami kuliah gender dan pascakolonialitas ini, saya menjadi paham kenapa sekencang apapun seorang muslimah berbicara tentang gender, maka ia tetap dianggap berhutang kepada Feminis Barat. Feminis Barat sudah lebih dahulu melaksanakan/menginternalisasi wacana feminis dalam keseharian mereka, sedangkan perempuan muslim baru memperbincangkan konsepnya saja. Meski mungkin sudah banyak yang dilakukan para muslimah. Memang, dikatakan bahwa feminisme itu laksana pelangi, tidak seragam. Dimana ada penindasan perempuan maka disanalah feminisme ada. Tapi kenapa harus memakai istilah feminisme? Atau juga dikatakan feminisme seperti pohon yang memiliki cabang yang banyak, tiap cabang terus berkembang. Bagaimana kalau sekiranya apa yang dilakukan muslimah dalam pembebasan perempuan tidak berasal dari pohon yang sama? Siapa yang mengatakan bersumber dari pohon yang sama? Jangan-jangan intelektual perempuan yang konsen dengan feminisme juga memiliki idiologi kolonial dimana segala dari Barat itu beradab dan non Barat belum beradab. Kuliah dengan Katrin Bandel ini justru membuat saya memiliki banyak pertanyaan dan kecurigaan hehehe.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI