Sementara itu, di luar laporan-laporan hukum yang menderanya dari orang-orang yang membenci pemikirannya, Ade Armando sering kali dinilai tak memiliki latar belakang ilmu agama terutama Islam ketika mengeluarkan pendapat-pendapatnya tentang syariat Islam yang cenderung kontroversi, provokasi atau sentimen.
Hal tersebut di era serba digital sebenarnya merupakan kewajaran ketika sejumlah orang bisa tiba-tiba menjadi pakar dalam membahas, menganalisa, mengkritisi, membantah atau melakukan uji materi terhadap pengetahuan, informasi, produk, tren, ide, perilaku, kebutuhan, keinginan, hukum, ajaran atau perihal lainnya yang bukan bidang keahliannya.
Alasan itu pulalah yang membuat sejumlah besar masyarakat yang kontra padanya cenderung memilih tidak menggubris apa pun kontroversi, provokasi atau sentimen yang dibangun olehnya jika itu perkara syariat Islam. Sebab seperti diketahui latar belakang pendidikan Ade Armando bukan dari kalangan santri, lingkungan pesantren atau ilmu agama. Keilmuwannya meliputi sosial, politik, komunikasi dan jurnalisme. Sentimennya tentang syariat Islam cenderung dipengaruhi oleh pikiran-pikirannya tentang kebebasan, yang diduga mulai dibawa sejak dirinya tergabung dalam kelompok diskusi Jaringan islam Liberal (JIL).Â
Namun sejak kemunculan seorang gadis bernama Kumaila Hakimah, yang dalam waktu cepat dikenal oleh publik digital melalui kanal YouTube @forbidden.questions dengan konten-kontennya yang lebih ekstrem tentang Tuhan, iman, agama, surga dan neraka, nabi, halal haram, jilbab dan sebagainya dengan perspektif tak biasa, berani melawan arus dan berbasis logika, rasionalitas, akal sehat dan ranah ilmiah--Ade Armando menemukan klipnya.Â
Tidak sampai di sana, ketika diketahui bahwa latar belakang pendidikan ilmu agama Kumaila Hakimah didapat sejak usia dini baik melalui pendidikan formal dan informal bahkan disebut jurusan kuliahnya pun tafsir hadis sampai menjadi penghafal Al-Qur'an, yang juga telah diuji oleh salah seorang netizen dengan tantangan hadiah rumah, Ade Armando tak menyia-nyiakan kesempatan klopnya. Pucuk dicinta ular pun tiba. Ade Armando membuat kolaborasi konten bersama Kumaila Hakimah. Klip menjadi klop, akhirnya klipklop.Â
Beberapa konten referendom kolaborasi keduanya pun tercipta. Konten-konten referendom tersebut dapat dikatakan memasuki fase viral karena direaksi oleh banyak konten kreator hingga pemuka agama, terutama Islam. Salah satu konten kolaborasi referendom yang cukup menyita perhatian publik adalah konten yang mengkritisi tentang penghafal Al-Qur'an dan apa manfaat dari metode menghafal itu sendiri. Â Â Â Â
Bermula dari konten podcast dengan kecenderungan dialektika semu tanpa dialog dua arah antara Kumaila Hakimah dan Abu Marlo yang terindikasi menempatkan metode menghafal dan para penghafal Al-Qur'an di titik terendah kognisi, logika seakan ingin menunjukkan eksistensinya dan mengambil tempat untuk menjadi piranti otak paling tinggi melalui penalaran logis.
Ruang dialektika semu itu lalu berlanjut dengan konten kolaborasi referendom yang dibawakan oleh Ade Armando yang mengundang Kumaila Hakimah sebagai narasumber, dengan topik bahasan yang kurang lebih sama, menalarkan segala sesuatu yang tak nalar.Â
Juga menihilkan manfaat atas segala sesuatu yang sejatinya memiliki dan sudah memberikan manfaat, semisal hafalan. Dan lagi-lagi, logika dan akal sehat menjadi basis dalam menentang dan menihilkan segala sesuatu yang tak bisa dinalar. Tetapi, apakah manfaat metode menghafal atau banyaknya penghafal Al-Qur'an layak dibatalkan (cancel culture) hanya karena perbedaan persepsi tentang kemanfaatannya? Di mana logikanya? Bagaimana pula bila dampak cancel culture atas metode menghafal berarti mematikan salah satu elemen nalar?   Â
"Tidak perlu lagi ada banyak penghafal Al-Quran di era digital ini...Nggak perlu ayat-ayatnya sampai di hafal di luar kepala...Pak Kholil yang budiman, yang hafal Al-quran itu sangat sedikit jumlahnya. Menghafal 6236 ayat itu susah setengah mati. Dalam hidup saya, saya hanya mengenal satu orang yang bisa hafal 6236 ayat Al-Qur'an, yaitu Kumaila. Dan dia pun sekarang merasa bahwa apa yang dilakukannya sejak kecil itu tidak bermanfaat...Jadi tidak ada hubungan antara menghafal dengan memahami...".Â
Demikian potongan ungkapan Ade Armando dalam konten yang dibuatnya untuk mereaksi kembali atas reaksi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis atas konten kolaborasi referendomnya bersama Kumaila Hakimah. Benarkah tidak ada hubungan antara menghafal dengan memahami? Apakah nalar bisa tiba di titik paham tanpa ingatan (hafalan)?Â