Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Kukira Kau Stunting

21 Oktober 2023   09:56 Diperbarui: 21 Oktober 2023   12:29 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi stunting (Dok.Humas Pemkot Banjarmasin/kompas.com)

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Hitung-hitungannya berarti setara dengan anak balita hingga usia tiga tahunan. Meskipun benang merahnya adalah asupan gizi, tapi penyebab stunting ternyata multi faktor.

Walaupun secara sederhana dapat diuraikan bahwa pertumbuhan anak dengan tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya masuk kategori stunting, tetapi indikator tersebut tidak dapat 100% memastikan bahwa seorang anak dengan tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya adalah anak balita stunting.

Stunting akibat kurangnya asupan gizi tidak hanya berdampak pada fakta terhambatnya tumbuh kembang anak, terkait informasinya saja bisa menimbulkan respon keliru dan dampak sosial, mental dan psikologis bagi setiap ayah-ibu (orang tua) terhadap tumbuh kembang anaknya. Terutama ketika memunculkan polemik mengenai nilai gizi dan pola asuh tepat yang mana harus diterapkan pada buah hatinya.

Informasi stunting yang kini tersebar di berbagai platform digital dan flatform media sosial sudah teramat banyak. Saking banyaknya, sampai informasi ketahanan pangan, baik pangan lokal maupun global yang ternyata mempunyai korelasi terhadap stunting, terabaikan.  

Padahal, semua informasi atau opini tentang stunting yang beredar daring tidak hanya bersumber dari para jurnalis, penulis atau warga biasa, melainkan juga bersumber dari kalangan pakar, seperti dokter spesialis anak, dokter kandungan, ahli gizi dan psikolog.


Masing-masing pakar memberikan pandangan sesuai dengan keilmuwannya, dan apa yang mereka uraikan tidak jarang terdapat perbedaan yang dapat menimbulkan bias dan polemik. Terlebih saat uraian tersebut diperkuat oleh apologi kepakarannya. Di titik tersebut, bias, polemik dan apologi kepakaran menumbuhkan ruang gema-ruang gema atau dikenal dengan echo chamber di ruang digital. 

Seperti diketahui echo chamber atau ruang gema adalah cara di mana kita hanya menemukan informasi dari orang-orang yang berpikiran sama. Sebuah lingkungan di mana kita hanya menemukan informasi atau opini yang mencerminkan dan memperkuat informasi atau opini kita sendiri sehingga makin menguatkan bias konfirmasi.

Ruang gema-ruang gema itu kemudian memengaruhi setiap orang tua (ayah-ibu) dan kadang keluarga dekat lainnya, yang akhirnya menciptakan perbedaan dalam hal keyakinan akan asupan nilai gizi dan pola asuh ayah-ibu pada anaknya, juga keluarga dekat lainnya yang campur tangan hingga seringkali menjadi polemik tak berujung.

Bisa saja sang ayah misalnya lebih meyakini informasi yang diberikan oleh ahli gizi, dokter kandungan atau dokter spesialis yang sebenarnya juga tidak sepakat tentang apa yang dapat memastikan seorang anak balita bisa disebut stunting.

Sementara sang ibu lebih memercayai informasi yang ditampilkan oleh Google atau seorang dokter spesialis anak dengan keterlibatan ribuan audiens dalam sekali live di media sosial. Meski diketahui pula bahwa pakar lainnya yang juga melakukan edukasi stunting di berbagai media sosial dengan pendapat dan keilmuwan berbeda memiliki ribuan sampai jutaan pengikut.

Polemik orangtua dan/atau keluarga dekat lainnya yang ikut campur dalam menumbuh-kembangkan seorang anak jelas akan memberikan dampak sosial, mental dan psikologis terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri.

Oleh karenanya, seorang anak yang kondisi sesungguhnya baik-baik saja, tetapi lantaran terintimidasi oleh ambiguitas pola pengasuhan ayah-ibu dan atau keluarga dekat lainnya justru bisa membuat seorang anak menjadi stunting.

Fakta terkait dampak sosial, mental dan psikologis yang menimbulkan polemik yang menciptakan ambiguitas banyak tersebar juga di media sosial melalui curhatan para orang tua, lebih khusus kaum ibu.

Cerita-cerita curhatan tentang tumbuh kembang anak tercintanya setelah menerapkan informasi atau opini dari masing-masing echo chamber yang diyakini oleh ayah-ibu dan/atau keluarga dekat lainnya sebagai cara yang paling tepat terkait pola asuh, kemudian malah menciptakan masalah terhadap pertumbuhan dan perkembangan sang anak.  

Ironinya, bias dan polemik informasi atau opini yang selanjutnya membentuk ambiguitas menjadi keliru ketika dicerna dan diterapkan ke dalam pola asuh hingga menciptakan masalah bagi pertumbuhan dan perkembangan sang buah hati---malah dicurhatkan ke ruang publik melalui konten tulisan, audio, video atau kompilasi yang dibuat dan diposting ke platform digital atau platform media sosial.

Dan konten-konten curhat semacam itu banyak tersaji di banyak flatform digital atau flatform media sosial. Sampai akhirnya, bias dan polemik informasi atau opini tentang stunting berkembang menjadi konflik.     

Begitulah dampak sosial, mental dan psikologis yang dapat ditimbulkan dari ruang gema-ruang gema edukasi stunting dari para jurnalis, penulis, warga biasa dan lebih utama para pakar di platform digital atau flatform media sosial yang tentu saja beranjak dari maksud dan tujuan mulia.

Secara pribadi saya berpendapat bahwa informasi atau opini stunting yang begitu banyak beredar di ruang digital terutama yang berasal dari ruang gema-ruang gema, tidak hanya menimbulkan bias konfirmasi, polemik dan apologi kepakaran, tetapi informasi atau opini stunting juga cenderung mengandung bullying verbal pada anak dan para orang tua yang dinilai keliru menerapkan pola asuh.

Atas dasar semua informasi atau opini yang melahirkan bias konfirmasi, polemik dan apologi kepakaran itulah saya berani berkata untuk sebagian besar anak-anak Indonesia yang merujuk pada pertumbuhan dan perkembangan normal tanpa menoleh bias, polemik dan apologinya, "Kukira kau stunting" padahal "Tidak".     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun