Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Netralizen, Mencari dan Menemukan Sosok Pemersatu Bangsa di Dunia Digital

4 Januari 2023   09:42 Diperbarui: 4 Januari 2023   09:53 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan karena itu semua, muncul imajinasi dari sisi kiri dalam gurat tawa tertahan. Berimajinasi tentang sesuatu yang menggelitik sekaligus menggelikan. Membayangkan di berbagai konflik yang terjadi di dunia nyata, semua tuntas ketika salah satu dari sekian jumlah wanita yang diberi predikat pemersatu bangsa diselinapkan ke tengah-tengah konflik.

Sebuah imajinasi yang diumpamakan layaknya kondisi gagal fokus petarung, official, penyelenggara dan penonton pertarungan, yang tercipta saat jeda babak pada sebuah pertandingan tinju, kickboxing, MMA atau lainnya. Yaitu kondisi gagal fokus yang tercipta setelah bel berbunyi ketika seorang wanita (gadis ring) masuk ke tengah arena membawa sebuah papan bertuliskan angka putaran atau babak berikutnya.

Seketika kecantikan wajah, keseksian dan keterbukaan tampilan tubuh sang gadis ring meski sejenak, mampu mengalihkan pertarungan dan pertaruhan. Kerasnya hantaman, pukulan, tendangan, keringat, darah, luka dan emosi berganti sensualitas yang memukau dan membuai. Begitulah terciptanya kondisi gagal fokus yang diduga identik dengan yang akan terjadi pada orang-orang yang sedang berkonflik saat diselinapkan wanita pemersatu bangsa, terpukau dan terbuai.   

Imajinasi selanjutnya, saat seorang wanita pemersatu bangsa diutus ke dalam  setiap konflik di dunia digital, secara perlahan konflik mereda hingga ke titik nol. Berbagai komentar negatif bersih tak bersisa. Hujatan, ujaran kebencian, penghinaan, ujaran SARA, intoleransi, saling tuduh, saling serang dan seteru lainnya berhenti. Pengunaan label kecebong, kampret dan kadal gurun menghilang. Persatuan dan kesatuan tercipta. Kedamaian terwujud.

Pencapaian itu akhirnya membawa imajinasi pada harapan ke tahun berikutnya, bangsa kita diapresiasi masuk nominasi penerima Penghargaan Nobel Perdamaian atas upaya mempersatukan bangsa dan menciptakan kedamaian melalui cara berbeda; sensualitas. Namun tentu saja ini adalah harapan dalam imajinasi yang konyol. Mustahil. Nihilisme.       

Tapi namanya juga imajinasi. Dayanya bisa bergerak liar kemana-mana. Orang yang sedang berimajinasi kondisinya setara dengan ungkapan 'sultan mah bebas'. Bedanya, yang satu fakta, lainnya khayal. Itulah imajinasi sisi kiri dalam guratan tawa tertahan yang muncul atas penyematan predikat pemersatu bangsa pada wanita-wanita cantik dan seksi. Apakah faktanya wanita-wanita cantik dan seksi yang disematkan predikat pemersatu bangsa ini sungguh mampu mempersatukan bangsa?

Khabib Nurmagedov, seorang petarung MMA asal Rusia berkata pada suatu momentum, "Dengar, aku tidak ingin menyinggung siapa pun, ring girl adalah orang yang paling tidak berguna dalam seni bela diri. Apa tujuan mereka? Saya tanya. Anda  dapat menunjukkan bahwa ini ronde kedua melalui sebuah layar", kata Khabib dikutip dari Middle Easy. 

"Misalnya, saya duduk dengan ayah saya. Setiap orang memiliki pandangan, budaya dan nilai-nilainya sendiri. Saya datang ke Fight Night, duduk dengan ayah saya. Orang-orang (ring girl) ini lewat dan menunjukkan bahwa ini adalah ronde kedua. Tapi, (anda tahu) tidak ada yang melihat papan yang di bawanya", susul Khabib. 

Serupa dengan pendapat Khabib Nurmagedov terhadap gadis ring, tidak ada yang melihat papan yang di bawanya. Semua orang melihat gadisnya, cantiknya, seksinya, pakaian minimnya; sensualitasnya. Begitu pula predikat pemersatu bangsa yang disematkan pada wanita cantik dan seksi, predikat itu disematkan karena sensualitasnya. Bangsa (bangsa pria) bersatu karena sensualitasnya. 

Jika pun ada wanita-wanita dijuluki pemersatu bangsa sesungguhnya, pastilah bukan karena sensualitasnya, dan raib pula 'bangsa pria' yang telah menyematkan sensualitas sebagai objek pemersatu bangsa. Pertanyaannya kemudian, di tengah merebaknya perseteruan, permusuhan, adu domba, pecah belah, isu SARA, intoleransi, ujaran kebencian dan konflik lainnya yang terjadi di dunia digital, kita bisa berharap pada siapa untuk menetralisirnya? Apakah pada influencer?

Pernah ada temuan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut pemerintah telah menganggarkan Rp1,29 triliun untuk belanja aktivitas digital di mana Rp90,45 miliar di antaranya untuk membiayai aktivitas yang melibatkan influencer atau buzzer. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun