Mohon tunggu...
Urip Sugeng
Urip Sugeng Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Cinta Indonesia

Membaca dan membaca untuk meningkatkan fungsi dan menghormati titipan dari Pemberi Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pola Pikir Bertahan Destruktif Pendukung Capres

9 April 2019   15:56 Diperbarui: 9 April 2019   16:39 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar beritaheboh.com di facebook / dokpri

Pola pikir bertahan destruktif pendukung Capres.

Sungguh miris rasanya jika kita memahami secara mendasar, bagaimana pendukung calon presiden mempertahankan argumentasinya, bahkan yang tidak masuk akal ataupun bersifat bertahan dengan destruktif.

Kita tidak membicarakan mereka yang melempar isu murahan, hoax, provokasi dan sebagainya agar capres idolanya dimenangkan, atau capres lain dikalahkan, tetapi berakhir di bui karena menabrak Undang2.

Yang kita bicarakan disini adalah pola pikir bertahan destruktif yang saya temukan dari WAG ataupun media lain, tentu kasus ini bisa dianggap lebih ringan, tetapi bisa juga dianggap lebih mendasar tergantung bagaimana sudut pandang diarahkan.

Saya ambil 3 contoh, yang terlihat berbeda tetapi esensi sama, tampaknya ada masalah dalam sistematika berfikir, hilangnya analis, rendahnya literasi ditunggangi dengan emosional yang teraduk aduk suasana menjelang pemilihan.

Ada lalu lalang berita di fb, dituliskan disitu "hanya untuk bela prabowo, akun aisyah humairah kafirkan ibunda Nabi Saw". Perkara apakah akhirnya dia sudah minta maaf dan menghapus postingan itu soal lain, masalahnya yang mendasar ada ditulis oleh seseorang yang mengaku islam dan bahkan pernah belajar di salah satu perguruan tinggi agama islam.

Contoh kedua, pernah aku share kopian cerita bahwa pak Jokowi 20 tahun lalu sudah aktip di pondok ini itu. Dengan maksud agar jangan meragukan ketaatan orang.

Secara tidak aku duga, ada yang jawaban dengan menceritakan bahwa dia sudah keluar masuk pondok (biasa, bohong dululah), mengatakan tarekat ini itu kadang tidak aswaja sebagaimana hasil yang sudah dia peroleh. Rupanya dia takut, walau sedikitpun memberi apresiasi orang lain, karena hal itu akan menenggelamkan pamor jagonya.

Saya nggak sanggup menganggap dia, seolah2 jika urusan capres itu, rasio, kebenaran ataupun keyakinan ada diurutan belakang, yang penting jagonya menang. Lagi lagi, dia seorang muslim dan sarjana.

Lho, ya jangan kamu samakan rek!.

Aku ambil contoh, jika kamu lulus dari SMA x, misalnya masih nganggur atau sik mbecak paribasane, jangan kamu salahkan sekolahnya. Ingat2 bagaimana proses belajar dulu kamu jalani, buktinya lulusan dari SMA itu banyak yang jadi dokter, ada yang hakim, pengusaha, kepala sekolah, ada peneliti dll. Itu berarti kamu nggak mampu mengambil manfaat dari proses belajar, ono sekolahane disalahno. Cik ngawure kon?

Dalam buku terjemahan berjudul "Jiwa Besar", itu namanya penyakit excusitis, menyalahkan hal dan faktor lain untuk memaklumi kegagalan diri sendiri.

Contoh ketiga, adalah mereka yang diberi tahu pencapaian pembangunan, usaha2 dan kerja keras yang tengah berjalan, justru dijawab dengan mengeluhkan keadilan, harga2 mahal, tidak bisa beli ini itu dan semua yang pesimistis sifat nya.

Padahal kalo boleh aku menilai, walaupun dia (lagi lagi) seorang sarjana, akan tetapi mental dan pola sistematika berfikir bukan type pejuang yang gigih mengejar asa, ingin semua otomatis tersedia manakala butuh, type orang yang melihat hasil, mengesampingkan  proses.

Itu juga penyakit excusitis, menyalahkan keadaan, lingkungan, orang sekitar bahkan menyalahkan kesehatan dirinya yang tanpa disadari dia bisa menyalahkan tuhan karena itu kan pemberianNya dijadikan alasan.

Sebenarnya, lewat tulisan di kompas ini, aku ingin generasi muda atau kaum milenial lain mampu membaca dan memahami inti dari masalah, tanpa merasa tersinggung.

Benar kata bung Karno, jangan tanya apa yang negara berikan padamu, tetapi tanyakan apa yang dapat kamu persembahkan untuknya.

Jangan mengikuti nemo warisman atau amin rais, menggunakan jargon perang badar hanya untuk pemilihan presiden 5 tahunan. Gak masuk akal blass wong2 iku.

Wis, gini sik wae.
Pokoke salam waras

Urip Sugeng

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun