Mohon tunggu...
Sumarno
Sumarno Mohon Tunggu... -

Mencari dan mencari terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dalang Modern

31 Desember 2010   13:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:08 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah semakin merosotnya pamor kesenian tradisonal, khususnya wayang kulit, di Tegal masih ada penjaga gawang kokoh yang melestarikan kesenian khas Jawa itu. Ia adalah dalang Ki Enthus Susmono.

Reputasinya bukan sekadar dalang ecek-ecek. Kiprahnya bukan hanya di kancah nasional. Namun, aktivitas berkesenian yang ia lakoni mampu menembus manca negara. Tahun 2009, ia bersama rombongan keseniannya berangkat ke Belanda. Di Museum Tropen, Amsterdam, Negeri Belanda ia melakukan pameran dan pementasan wayang, sekaligus lokakarya tentang wayang.

Ki Enthus mendapat banyak julukan karena aktivitas kreatifnya. Di sebut “dalang mbeling,” sebagian lain menyebut “dalang edan.” Karena dalam membawakan lakon pewayangan ia sering tidak sesuai pakem pewayangan. Ki Enthus seperti tak peduli dengan sebutan apapun. Apa arti sebuah nama, kata William Shakespeare . Memang, Shakespeare dan Ki Enthus memilki kemiripan, sebagai seniman kondang. Kehidupan pribadi yang berliku dan mampu memukau dengan keseniannya.

Dalam kesenian modern memang tidak mengenal pakem yang baku. Daya kreativitas menjadi faktor uatama. Terbukti segala kreativitas pewayangannya membuat Ki Enthus pelestari wayang yang tetap eksis. Dan itu strategi jitu yang mengalahkan bentuk iklan dan sosialisasi apapun. Malah sosialisasi kesenian ooleh pemerintah kadang dicurigai sebagai kampanye poltitik.

Kurang lengkap kalau hanya menyebut Ki Enthus sebagai seorang dalang. Ia juga seorang aktivis. Kepeduliannya terhadap fenomena sosial tidak diragukan lagi. Pada tahun 1998, Ki Enthus termasuk aktivis reformasi yang berkontribuasi bagi perubahan, di Kota Tegal khususnya, bersama mahasiswa.

Ketika terjadi tawuran antar kampung di Kabupaten Tegal ia turun tangan. Sudah barang tentu tidak menggunakan kekuatan senjata. Melainkan mengedepankan pendekatan kultural. Kemudian, saat terjadi konflik pasca Pilkada Kabupaten Tegal yang mengantarkannya ke sel tahanan.

Ki Enthus lahir di Desa Dampyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, tepatnya di tepian sungai Gung, persis sebelah timur Kota Tegal. Ia dari keluarga dalang, ayah seorang dalang. Kakeknya juga seorang dalang kondang pada jamannya. Kini, Ki Enthus menetap di Desa Bengle, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, sebelah selatan Kota Tegal. Bersama anak dan istri perkawinannya yang kedua. Tepatnya, di Jalan Projo Sumarto ia membangun “istana kerajaan” keseniannya.

Di tempat itulah berbagai inspirasi dituangkan dalam bentuk kreasi seni. Ia bukan hanya mendalang dengan menjogedkan wayang membawakan sebuah lakon. Ia sekaligus pengrajin wayang. Hasil karya wayang kontemporer. Karya yang terkenal wayang rai wong, wayang yang menggambarkan tokoh-tokoh masa kini, dan juga wayang planet.

Ia juga seorang peñata musik handal. Anehnya, ia bukan hanya menggarap musik karawitan dengan alat gamelan. Tetapi, musik bernafaskan Islam, alias kasidah ia kerjakan, dan musik etnik. Bersama Yono Daryono, sutradara teater RSPD, Kota Tegal, Ki Enthus berlangganan menjadi peñata musik setiap pementasan teater.

Tidak berhenti di situ, bagi warga sekitar dan siapa saja Ki Enthus biasa berdiskusi. Rumahnya yang serba antik atau bahkan aneh bagi ukuran kebanyakan orang adalah tempat untuk ngobrol, berbagi, kadang sampai larut malam. Di sini Ki Enthus benar-benar menjalani posisi sebagai dalang, artinya mudal piwulang (memberi pengajaran). Walaupun tidak diistilahkan guru, dalam konteks kekinian lebih tepat dinamakan diskusi atau sharing.

Dengan istilah diskusi, Ki Enthus tidak mencerminkan dalang yang sakral sebagaimana dalang pada umumnya. Ia tidak memosisikan diri sebagai orang tua atau yang dituakan. Di mata masyarakat atau paling tidak menurut persepsi penulis, ia adalah seorang pekerja keras, aktivis, dan yang jelas ia seniman, dalang modern.

Terlepas dari segala pandangan miring, karena keunikannya, seabreg aktivitas, daya kreativitasnya tergolong tinggi, dan segala predikat yang ia sandang justru menarik bagi siapa saja. Terbukti, selalu dikejar media massa sebagai nara sumber. Seakan menegaskan, bahwa langkah Ki Enthus melepas kekangan pakem pewayangan dengan segala risikonya, membuat kesenian wayang bisa hidup dan mampu menghidupi.

Mengidupi bukan hanya bagi diri dan keluarganya, tetapi yang secara langsung minimal bersama 80 awak kesenian yang ia bawahi. Adapun yang tidak secara langsung, adalah efek domino, manakala pentas ditanggap mendorong peluang para pedagang meraup rejeki. Disini, terjadi sirkualasi uang, termasuk dari sohibul hajat yang nanggap yang biasanya kalangan berkecukupan.

Namun, dalam hal spiritual ia mendengarkan dan taat apa yang dikatakan mertuanya yang ia anggap sebagai guru spiritualnya. Barangkali ini bentuk kerendahhatian seornag Ki Enthus. Mertuanya itulah sangat mewarnai kehidupannya, tak terkecuali dalam berkesenian.

Sebagaimana lingkungan Desa Bengle yang kental warna ke-Islamannya, maka warna ke-Islaman itu memengaruhi aktivitas Ki Enthus. Seperti terlihat di kompleks rumahnya yang juga sebagai sanggar, ia membangun masjid. Bahkan masijd dibangun sebelum membangun rumah sendiri. Semua itu atas saran sang mertua.

Maka, paripurnalah apa yang Ki Enthus lakukan. Kendati dalam sejarah, terutama pada masa wali sanga, wayang atau gamelan merupakan alat dakwah. Pada perjalanannya kesenian gamelan ataupun wayang mengalami kontradiksi dengan dunia Islam. Namun, kini di tangan Ki Enthus gamelan atau wayang dengan kesenian Islam bisa dikolaborasi. Tidak mengherankan, jika pementasan wayang Ki Enthus pesinden atau waranggono mengumandangkan sholawat atau melantunkan lagu kasidah.

Pertanyaannya, apakah bakal ada penerus kiprah Ki Enthus untuk melestarikan kesenian tradisional yang kontekstual dengan jamannya? Terlepas dari kekhawatiran itu, yang jelas setiap jaman akan melahirkan tokoh-tokohnya. Walau entah seperti apa pastinya. Semoga!(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun