Mohon tunggu...
Sumarni Bayu Anita
Sumarni Bayu Anita Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka Palembang, Penulis Buku "Pempek Palembang", Blogger, Suka Nonton + Kuliner + Travelling + Research

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kampung Kapitan, Sejarah Palembang yang Terpinggirkan

20 Januari 2017   22:45 Diperbarui: 20 Januari 2017   22:51 6774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Kapitan. Sebuah kampung yang ada di kawasan 7 Ulu Palembang. Senangnya, saya bersama putri kesayangan, Fafa dan adik bungsu saya, Dian bisa berkunjung ke sana. Sebagai orang Palembang sebenarnya bukan hal yang membanggakan sih kalau di usia sekarang baru bisa datang langsung ke salah satu tempat cagar budaya Kota Palembang itu. Namun, pepatah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali tampaknya menjadi ajian yang sangat kuat kali ini. :D

Sebelumnya kami yang ke sana dengan menggunakan motor, sempat salah lorong hingga sampai di Dermaga 7 Ulu, tapi usai bertanya dengan penduduk setempat, diketahui bahwa lorong sebelumnyalah yang harusnya dilalui. Tak perlu waktu lama, tak jauh dari pangkal Jembatan Ampera dari sebelah Ulu itu, kami pun menemui kawasan yang dimaksud. Sama, masih sama seperti proses kajian literatur yang sempat saya lakukan dulu untuk keperluan tesis. Saat itu tahun 2012. Namun memang, sebagai warga Palembang, jelas kondisi Kampung Kapitan saat ini sangat memprihatinkan. Tak terawat, hampir roboh. Taman yang ada di bagian tengah kampung itu saja yang menunjukkan tempat ini sempat diperhatikan namun kini tampak terlupakan.

Gerbang Dermaga 7 Ulu yang ada di tepi Sungai Musi (Dokumentasi Pribadi)
Gerbang Dermaga 7 Ulu yang ada di tepi Sungai Musi (Dokumentasi Pribadi)
Harusnya pemerintah kota tak hanya mencatatkannya sebagai kawasan terlindungi sabagai cagar budaya, namun juga perlu dilakukan renovasi segera agar situs ini terselamatkan bahkan menjadi bahan pembelajaran tentang sejarah kota kepada para generasi muda. Begitu baiknya melestarikan objek sejarah ini sebagaimana yang pernah saya tuliskan mengenai Kampung Kapitan dalam buku Pempek Palembang; Mendeskripsikan Identitas Wong Kito Melalui Kuliner Lokal Kebanggaan Mereka (Anita, 2014:40-44) yang juga mencoba mendeskripsikan tentang keberadaan dan tempat tinggal orang Cina yang ada di Palembang.

Dipahami bahwa untuk tempat tinggal, dulu, orang Cina di Palembang banyak yang bermukim di atas rakit, terutama di seberang ulu Sungai Musi. Rumah-rumah rakit itu berada di atas air dan berpola linear. Pembagian tata letak pemukiman yang berdasarkan status sosial, pekerjaan dan etnis ini telah terjadi di Palembang sejak keraton Kesultanan Palembang masih berada di Kuta Gawang. Namun, etnis Cina memang selalu ditempatkan di luar keraton. Dari segi kuantitas jumlah rumah rakit ini terus berkurang. Hal ini karena perkembangan jaman yang sekaligus juga perubahan pemerintahan. Mereka lambat laun membentuk pemukiman rumah panggung di tepi Sungai Musi yang kemudian memunculkan pemukiman Cina di 7 Ulu dengan segala sarana dan prasarananya.

Taman Kampung Kapitan yang Sempat Dibangun Di Depan Rumah Kapitan (Dokumentasi Pribadi)
Taman Kampung Kapitan yang Sempat Dibangun Di Depan Rumah Kapitan (Dokumentasi Pribadi)
Bila awalnya masih diperdebatkan kapan dan siapa orang Cina yang pertama kali datang ke Palembang, namun adanya Kampung Kapitan data tersebut dapat coba digali kembali. Diperkirakan, orang Cina yang pertama datang ke Palembang bernama Toa Pe Kong Sie, leluhurnya Kapitan Tjo (Mohtar, 2011). Toa Pe Kong Sie diperkirakan datang ke Palembang pada masa peralihan Kerajaan Sriwijaya ke Kesultanan Palembang Darussalam di abad ke-16 hingga abad ke-18. Pemukiman etnis Cina ini ditandai dengan adanya rumah Kapitan Cina di wilayah 7 Ulu yang secara administratif termasuk wilayah Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I Palembang. Dulu Kampung Kapitan memang dikenal sebagai Kota Cina (China Town) yang luas wilayahnya kala itu sekitar 20 hektar dan 10 Ulu sekarang adalah pusat perdagangannya (Mohtar, 2011).

Secara kultural, Kampung Kapitan merupakan simbol pembauran antara etnis Cina, Melayu dan kebudayaan Eropa (Belanda). Hal itu dapat dilihat dari bentuk rumah Kapitan sendiri yang merupakan perpaduan arsitektur ketiganya. Pada bagian pilar depan rumah yang berukuran asli 22 x 25 meter ini terbuat dari beton berbentuk silinder yang bagian tengahnya menggelembung layaknya ciri khas bangunan Eropa. Sedangkan bentuk bagian depannya mengadopsi bentuk rumah limas (khas Palembang atau Melayu). Namun, pada bagian tengah rumah terdapat ruang terbuka yang menjadi ciri khas bangunan Cina. Ruang terbuka ini berfungsi sebagai penghawaan dan masuknya cahaya. Di rumah ini juga ada meja altar sebagai tempat pemujaan pada leluhur yang kini sudah terdapat 11 abu keturunan kapiten Tjoa Ham Him.

Lorong Masuk Rumah Kapitan Yang Ada Di Tengah Pasar (Dokumentasi Pribadi)
Lorong Masuk Rumah Kapitan Yang Ada Di Tengah Pasar (Dokumentasi Pribadi)
Menurut buku harian keluarga Sie The, nama Kampung Kapitan diambil dari nama pangkat Kapitan Tjoa Ham Him (Pratama, 2011). Pada masa tersebut, Kapitan Tjoa Ham Him adalah warga Tionghoa yang diberi pangkat kapten (kapiten) oleh pemerintah kolonial Belanda. Tjoa Ham Him mengabdi kepada Belanda dengan tugas memungut pajak dari warga dan pengusaha Tionghoa. “Segala urusan perizinan birokrasi dan pengaturan kehidupan warga Tionghoa di Palembang dilimpahkan pada leluhur saya (Tjoa Ham Him). Bisa dikatakan tugasnya semacam wali kota atau bupati pada era sekarang,” kata Mulyadi alias Tjoa Tiong Gie, generasi ke-13 dari keturunan Tjoa Ham Him (Pratama, 2011). Kampung Kapitan awalnya dihuni keluarga besar dari nenek moyangnya Tjoa Ham Him yang berasal dari Provinsi Hok Kian Kabupaten Ching Chow. Mereka datang pertama kali ke Palembang sekitar tahun 1850 dan membawa keluarganya beserta jajarannya, tukang masak, anak buah, dayang-dayangnya (And, 2011).

Dari segi fisik awalnya Kampung Kapitan adalah kelompok 15 bangunan rumah panggung milik etnis Tionghoa di masa kolonial Hindia Belanda. Namun sekarang peninggalan bangunan leluhur etnis Tionghoa yang tersisa adalah dua rumah panggung dari tiga bangunan rumah yang ada. Satu rumah tidak ada lagi karena dijual, akibat masalah ekonomi dan terkikis oleh zaman. Dewasa ini, para pendatang dari Cina tersebut nyatanya telah membaur dengan masyarakat asli Palembang, bahkan sampai menikah dengan penduduk setempat. Muhammad Saleh (74), tetua di Kampung Kapitan, menuturkan, interaksi antara masyarakat keturunan Cina dan masyarakat pribumi berlangsung dengan baik. Banyak warga keturunan Cina, terutama dari keluarga besar Kapitan, yang menikah dengan perempuan pribumi (Adiyanto, 2006).

Well, usai membaca tulisan saya di atas, kamu juga tertarik mengunjungi kampung ini? Silahkan saja, mari kita belajar tentang sejarah kota ini langsung dari peninggalannya yang masih tersisa untuk menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun