Mau tidak mau, suka tidak suka sepertinya perkembangan zaman telah merubah banyak sendi-sendi kehidupan dalam bermasyarakat. Tak terkecuali juga dilingkungan kerajaan/ keraton.
Dulu sabda raja merupakan titah sekaligus produk hukum paripurna yangg wajib ditaati oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali dan tanpa hak berkomentar. Mempertanyakan sabda raja sama hukumnya dengan menentang raja, dan bersiap-siaplah untuk menerima hukuman berat karna dianggap pemberontak dan subversib.
Tapi seiring dengan perkembangan zaman sabda raja agaknya tak sesakral pada saat masanya dulu. Kini sabda raja bahkan dipertentangkan dan dipertanyakan oleh kalangan ndalem keraton itu sendiri. Sebuah ironi menurut saya, karna hal ini bisa melunturkan eksistensi dan wibawa seorang raja. Ada bedannya coba seorang raja dengan bupati atau gubernur kalau persoalanya seperti ini. Dimanakah letak keistinewaanya sebagaimana yg sudah digariskan oleh undang-undang?
Bisa jadi memang hal ini terjadi karena adanya konflik keluarga di ndalem keraton terkait dengan pewaris tahta kerajaan. Dibanyak literatur sejarah perebutan kekuasaan memang sering melahirkan konflik, baik yang bersifat laten antar sesama anggota keluarga sendiri maupun yang nyata yaitu dengan musuh kerajaan.
Sebagai orang jawa yang mencintai sejarah dan budaya bangsa saya sangat berharap agar hal seperti ini tidak perlu terjadi lagi dikemudian hari. Kepada seluruh kekuarga keraton yang terhormat dan seluruh masyarakat Jogyakarta saya berharap agar tetap menjaga persaudaraan dan persatuan demi keutuhan kerajaan.
Terakhir saya berpendapat, demi menjaga kewibawaan kerajaan sabda raja adalah mutlak dan paripurna. Tidak ada ruang lagi bagi siapapun untuk menentang dan memperdebatkanya.
Salam!