Ketika kita membicarakan masa depan perangkat lunak, topik seperti kecerdasan buatan dan cloud computing biasanya yang muncul ke permukaan. Tapi satu hal yang pelan-pelan mulai menyodok ke tengah panggung adalah sustainability atau keberlanjutan.
Sayangnya, meski dunia semakin sadar akan isu lingkungan dan sosial, bidang rekayasa perangkat lunak (RPL)---terutama pada tahap requirements engineering (RE)---masih tertinggal jauh. Artikel ilmiah berjudul Requirements Engineering for Sustainable Software Systems: A Systematic Mapping Study (Bambazek et al., 2023) membuka mata kita tentang kenyataan ini.
Banyak Teori, Minim Aksi Nyata
Dalam kajiannya, para peneliti mengumpulkan 55 publikasi ilmiah dan menemukan 29 pendekatan berbeda untuk menerapkan prinsip keberlanjutan ke dalam RE. Pendekatan ini mencakup lima dimensi: lingkungan, ekonomi, sosial, teknis, dan individual.
Tapi yang mengejutkan---hampir semuanya belum pernah diterapkan di dunia industri. Sebagian besar hanya berhenti sebagai riset akademik, tanpa dukungan alat bantu nyata, dan tanpa integrasi dengan metode kerja populer seperti Agile atau Scrum.
Jurang antara Akademik dan Praktik
Dari sekian banyak pendekatan yang dikaji, hanya segelintir yang menyertakan prototipe alat bantu. Bahkan yang menyebut metode Agile pun sangat sedikit. Padahal, seperti yang kita tahu, sebagian besar perusahaan saat ini sudah mengadopsi Scrum atau model Agile lainnya.
Akibatnya, ide-ide bagus soal keberlanjutan dalam RE tidak bisa diintegrasikan ke dalam proses pengembangan perangkat lunak yang sesungguhnya. Jurang ini jadi PR besar bagi para peneliti dan praktisi.
Requirements Engineering = Penentu Arah Keberlanjutan?
RE adalah titik awal dari siklus hidup perangkat lunak. Di sinilah keputusan penting dibuat---fitur apa yang dibutuhkan, bagaimana sistem akan berinteraksi, dan apa dampak jangka panjangnya. Maka, wajar jika RE digadang-gadang sebagai pintu masuk terbaik untuk menanamkan nilai keberlanjutan dalam pengembangan software.
Namun dalam praktiknya, hanya sedikit aktivitas RE seperti dokumentasi dan validasi yang benar-benar dimanfaatkan untuk tujuan ini. Mayoritas hanya fokus pada elicitation dan analisis, dan itu pun belum sepenuhnya optimal.
Definisi yang Masih Abu-Abu
Masalah lainnya adalah soal definisi. Tidak semua peneliti menggunakan pengertian yang sama soal "keberlanjutan". Ada yang hanya fokus pada lingkungan, ada yang lebih menekankan aspek sosial, sementara yang lain menyelipkan unsur kesejahteraan individu dan daya tahan teknis.
Akibatnya? Pendekatan yang satu tidak bisa dibandingkan atau dikombinasikan dengan pendekatan lainnya. Ini menyulitkan adopsi secara luas karena belum ada kesepakatan dasar.
Solusi yang Ditawarkan
Para penulis menyarankan agar pendekatan RE dibuat lebih praktis dan bisa langsung diterapkan ke dalam metode kerja Agile. Selain itu, pengembangan tools yang open-source dan mudah digunakan juga penting agar keberlanjutan tidak hanya jadi jargon, tapi benar-benar masuk ke dalam praktik sehari-hari di dunia pengembangan perangkat lunak.