Mohon tunggu...
Sulthon Abdul Aziz
Sulthon Abdul Aziz Mohon Tunggu... Lainnya - Volunter Wonderhome Library

Penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Sholeh yang Benar-benar Sholeh

31 Desember 2020   02:37 Diperbarui: 31 Desember 2020   02:44 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap orang tentu akan berharap keturunannya menjadi anak yang sholeh. Bahkan sebelum kelahiran sang buah hati, seorang suami selalu bermunajat agar kelak dianugerahi oleh Allah SWT dengan kehadiran anak yang sholeh. 

Demikian pula seorang istri yang kian memasuki masa kehamilan akan semakin giat berdoa untuk kesholehan anak yang dinanti. Hingga tak terasa, ragam doa yang mereka hafalkan sejatinya adalah permohonan agar diberi keturunan yang sholeh.

Lantas siapakah yang dimaksud dengan anak sholeh? Apakah ukuran kesholehan antarsatu anak dengan yang lainnya itu sama? Dan, bagaimana seseorang dapat menjadi anak yang sholeh?

Terma 'sholeh' berasal dari bahasa Arab dengan akar kata shad, lam, dan ha yang berarti kedamaian, kebenaran, dan kebaikan. Dari akar kata tersebut lahirlah bentuk subjek 'sholeh' yang artinya baik dan benar, serta memiliki makna umum. Sehingga anak sholeh berarti anak yang baik dan benar. 

Secara istilah, orang sholeh adalah orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Perintah Allah SWT tidak terbatas pada ibadah sehari-hari seperti shalat dan puasa saja, tapi perilaku sosial yang baik juga termasuk dalam perintah-Nya. 

Juga larangan, tidak hanya terbatas pada aktivitas meminum khamr, berbuat zina, atau memakan daging babi, tapi segala sesuatu yang mungkin 'merugikan' orang lain juga termasuk dalam larangan-Nya. 

Oleh karena itu, setiap manusia yang berbuat baik sebagaimana fungsinya selaku 'abd (hamba) dan khalifah (penerus, pengganti), serta selalu memperbaiki hubungannya dengan Allah SWT dan sesama manusia, tentulah ia termasuk dalam golongan orang sholeh.

Selanjutnya adalah soal ukuran kesholehan seseorang. Skalanya tidaklah kaku yang lantas dapat diketahui secara nyata sebagaimana ukuran tinggi atau berat badan. 

Anak di usia remaja awal tidak bisa dipaksakan untuk berbuat baik sebagaimana remaja akhir atau bahkan dewasa. Juga soal profesi, anak yang melanjutkan kuliah akan berbeda tuntutannya dengan sebayanya yang sudah bekerja. 

Termasuk juga lingkungan sekitar yang acapkali memberi warna dalam 'ukuran' kesholehan' seseorang. Seorang guru biasanya anaknya akan menjadi guru, begitu pula dokter, polisi, seniman, politisi, dan lain sebagainya. 

Bahkan kondisi fisik orang tua, wujud mereka yang telah tiada, perbedaan agama, juga turut menjadi faktor penting. Bukankah setiap anak tetaplah menjadi anak berapapun usianya dan masih adakah orang tuanya? Dan bukankah setiap anak harus selalu berbakti kepada orang tuanya meski berbeda agama? Ya. Karena kerihoan Allah SWT terdapat pada keridhoan orang tua.

Perbedaan yang terjadi tidaklah lantas menghalangi kita untuk menjadi anak sholeh. Perbedaan tersebut justru memberikan gambaran bahwa setiap manusia terlahir istimewa dengan kelebihan masing-masing. 

Tindakan yang 'memaksa' anak untuk selalu berbuat sesuai ukuran pada umumnya merupakan sikap yang kurang bijak. Kalaupun demikian, hendaklah hal itu diikuti dengan pemahaman akan keunikan masing-masing anak.

Dalam upaya menjadi anak sholeh, setiap orang hendaklah memperhatikan kondisinya masing-masing. Pertama adalah apakah orang tuanya masih ada atau sudah meninggal? Tentu jika sudah meninggal, hanya doa yang bisa kita persembahkan untuk mereka. 

Sementara jika orang tua masih ada, bagaimana kondisinya, sakit keras, sakit biasa, atau masih sehat? Jika sakit, hal yang bisa dilakukan adalah merawatnya. Apabila masih sehat, lihat apa kesibukan sehari-harinya? Jika masih bekerja, apa pekerjaannya, di mana ia bekerja, dan bagaimana dia berangkat kerja? Dari beberapa poin tersebut dapat dicari celah untuk menjadi anak sholeh sebagaimana yang dibutuhkan oleh orang tua. 

Demikian pula jika terjadi perbedaan agama, ketaatan dan kepatuhan tetap menjadi prioritas selama tidak mengganggu perihal keimanan dalam Islam. 

Sehingga, menjadi anak sholeh hendaklah dengan melakukan perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya dengan senantiasa dilengkapi kebaikan dalam aspek sosial kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun