Teodisi (theodicy) sejak lama menjadi pergulatan dalam ruang lingkup filsafat bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa membiarkan penderitaan ada di dunia? Pertanyaan ini, pada mulanya, tampak sangat personal seperti mengapa saya sakit, mengapa keluarga saya tertimpa musibah. Namun dalam konteks sosial, teodisi menemukan bentuk yang lebih luas contohnya mengapa bencana melanda suatu bangsa, mengapa kemiskinan dan ketidakadilan struktural menimpa begitu banyak orang, atau mengapa perang dan kekerasan seakan tak pernah usai. Teodisi bukan lagi sekadar soal hubungan individu dengan Tuhan, melainkan juga soal penderitaan kolektif umat manusia.
Teodisi Klasik dan Kritik Sosial
Leibniz, filsuf Jerman, pernah mengajukan gagasan bahwa dunia kita adalah the best possible world yaitu dunia terbaik yang bisa diciptakan Tuhan. Dalam pandangan ini, setiap derita hanyalah bagian tipis dari tatanan kosmos yang lebih baik secara keseluruhan. Namun, optimisme itu segera mendapat kritik keras, salah satunya dari Voltaire lewat karyanya Candide, yang mengecam keyakinan itu sebagai tidak peka terhadap penderitaan nyata, misalnya gempa Lisbon 1755 yang menewaskan puluhan ribu orang. Kritik ini menegaskan bahwa teodisi tidak bisa berhenti pada argumen metafisik yaitu ia harus berhadapan dengan kenyataan sosial yang penuh luka.
Penderitaan akibat penyalahgunaan kekuasaan
Penderitaan bukan hanya akibat bencana alam, tetapi juga buah dari penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan kemiskinan, diskriminasi, eksploitasi, dan perang adalah contoh nyata bagaimana penderitaan lahir dari keputusan manusia, bukan dari takdir. Di titik ini, teodisi berubah arah alih-alih sekadar mempertanyakan Tuhan, manusia ditantang untuk mempertanyakan dirinya sendiri. Mengapa ada orang yang kelaparan di negara yang kaya sumber daya? Mengapa keadilan sulit diwujudkan padahal manusia mampu berpikir dan berorganisasi? Pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan bahwa teodisi sosial bukan hanya soal mengapa Tuhan membiarkan, tetapi juga mengapa manusia membiarkan.
Dari Teodisi ke Empati dalam Konteks Bangsa Indonesia saat ini
Jika ditarik ke keadaan Indonesia saat ini, persoalan teodisi sosial tampak nyata. Kita melihat bagaimana bencana alam seperti banjir, tanah longsor, hingga gempa bumi terjadi sementara banyak korban dibiarkan menanggung derita dalam kondisi yang memprihatinkan. Ketidakberdayaan struktural masih menjadi realitas bagi jutaan rakyat, meski negeri ini kaya akan sumber daya. Korupsi yang merajalela menambah lapisan penderitaan, sebab dana publik yang semestinya untuk kesejahteraan justru tergerus kepentingan segelintir orang.
Belakangan, kita juga menyaksikan aksi demonstrasi besar di depan DPR, sebagai ekspresi keresahan rakyat terhadap kebijakan politik yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan publik. Banyak kalangan masyarakat turun ke jalan, menolak praktik-praktik kekuasaan yang mengabaikan aspirasi masyarakat. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana penderitaan sosial bukan sekadar hasil “takdir”, tetapi buah dari sistem politik yang timpang. Dalam konteks teodisi, pertanyaan yang muncul bukan lagi “mengapa Tuhan membiarkan kebijakan yang tidak adil?”, tetapi “mengapa wakil rakyat yang dipilih justru melanggengkan ketidakadilan?”
Dalam hal ini, keimanan sejati harus diwujudkan dalam keberpihakan pada kemanusiaan dan keadilan sosial. Dikarenakan, “Agama tanpa kepedulian sosial hanya akan melahirkan kesalehan yang hampa.” Dengan demikian, demonstrasi yang lahir dari keresahan sosial bisa dibaca sebagai panggilan moral sebuah bentuk empati politik, di mana masyarakat tidak rela penderitaan sosial terus berlanjut karena kelalaian para pemangku kekuasaan.
Kesimpulan
Menafsirkan penderitaan sosial dalam keadaan sekarang berarti menyadari bahwa Tuhan tidak semata diuji dalam argumen, tetapi juga dalam tindakan manusia. Teodisi yang sejati bukanlah jawaban rasional atas misteri derita, melainkan keberanian untuk mengubah derita itu melalui empati dan kasih. Di Indonesia hari ini, dengan segala luka sosialnya mulai dari korban bencana, ketidakadilan ekonomi, hingga keresahan politik yang memuncak dalam demonstrasi di DPR kita dipanggil bukan hanya untuk mempertanyakan Tuhan, melainkan untuk mempertanyakan diri apakah kita sudah cukup berempati dan bertindak? Dari teodisi menuju empati, kita menemukan jalan untuk menjadikan iman bukan sekadar keyakinan, melainkan juga kekuatan sosial yang menggerakkan kemanusiaan yang menciptakan keadilan