Menjadi filolog bukan sekadar memindahkan huruf-huruf kuno ke dalam aksara modern. Seorang filolog harus memahami konteks sosiokultural, agama, dan dunia intelektual penulis teks. Ia harus bisa membedakan mana yang merupakan teks utama dan mana yang interpolasi (tambahan dari penyalin), serta mampu menyusun edisi kritis yang bisa digunakan oleh peneliti lintas bidang.
Di Nusantara, banyak naskah berbahasa Jawa Kuno, Arab Pegon, Melayu, atau Bugis dan bahasa adat lainya yang belum tersentuh. Mereka diam dalam rak perpustakaan atau koleksi pribadi, menunggu disentuh oleh mata filolog yang penuh ketekunan.
Tantangan dan Harapan
Tantangan terbesar ilmu filologi hari ini adalah minimnya regenerasi. Di tengah maraknya riset-riset instan dan minimnya dukungan dana terhadap kajian naskah, ilmu ini rentan terpinggirkan. Padahal, revitalisasi nilai-nilai lokal mulai dari etika, spiritualitas, hingga politik kebangsaan bisa ditemukan lewat pembacaan teks-teks lama.
Harapannya, generasi muda tidak hanya tertarik pada teknologi mutakhir, tetapi juga pada akar identitas bangsanya. Melalui filologi, kita bisa memahami siapa diri kita sebenarnya, bagaimana para leluhur berpikir, serta bagaimana budaya kita berkembang.
Akhir kata Filologi bukan sekadar membaca teks tua, melainkan menafsirkan ulang masa lalu untuk memberi makna pada masa kini dan masa depan. Di tengah dunia yang sering lupa sejarahnya, para filolog adalah penjaga waktu, pelindung kearifan, dan perawat peradaban.
Menyelami naskah berarti menyelami jiwa bangsa. Dan melalui filologi, kita tidak hanya mengenang tetapi juga melestarikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI