Di balik lembaran-lembaran tua beraksara kuno yang usang dan mulai rapuh, tersimpan harta intelektual bangsa yang luar biasa. Naskah-naskah itu bukan sekadar tulisan, tetapi cermin kejayaan peradaban, pemikiran, dan kearifan lokal masa lampau. Di sinilah ilmu filologi hadir sebagai jembatan antara generasi kini dengan warisan leluhur. Filologi tidak hanya berurusan dengan bahasa, melainkan juga dengan jiwa sebuah peradaban.
Apa Itu Filologi?
Filologi berasal dari bahasa Yunani philos (cinta) dan logos (kata), yang secara harfiah berarti "cinta terhadap kata-kata." Dalam praktik akademik, filologi adalah ilmu yang mempelajari naskah-naskah kuno secara kritis, menyunting teks-teks tersebut, menafsirkan maknanya, serta menempatkannya dalam konteks sejarah, budaya, dan sosialnya.
Seorang filolog tidak hanya membaca teks, tetapi juga menelusuri varian-varian naskah, membandingkan salinan yang berbeda, dan mencoba merekonstruksi bentuk asli atau paling mendekati keaslian teks tersebut. Ini adalah proses ilmiah yang membutuhkan ketelitian tinggi, pemahaman bahasa kuno, serta pengetahuan tentang konteks zaman ketika teks itu ditulis.
Mengapa Filologi Penting?
Di era digital yang serba cepat, mungkin banyak yang menganggap kajian filologi sebagai sesuatu yang usang. Namun justru sebaliknya, filologi adalah penjaga memori kolektif kita. Tanpa kajian filologis, banyak naskah lokal Nusantara seperti Serat Centhini, Hikayat Raja-Raja Pasai, atau Babad Tanah Jawi akan tinggal sebagai simbol tak terbaca, hilang makna dan konteksnya.
Filologi berperan penting dalam:
Pelestarian budaya dan bahasa: Teks kuno mengandung kekayaan bahasa, idiom(ungkapan), dan gaya naratif yang unik dari zamannya.
Pengungkapan sejarah alternatif: Banyak naskah memuat versi sejarah yang tak ditemukan dalam arsip resmi.
Pendekatan lintas-disiplin: Filologi bersentuhan dengan ilmu lain seperti arkeologi, antropologi, sastra, teologi, bahkan ilmu hukum adat.
Tugas Mulia Seorang Filolog
Menjadi filolog bukan sekadar memindahkan huruf-huruf kuno ke dalam aksara modern. Seorang filolog harus memahami konteks sosiokultural, agama, dan dunia intelektual penulis teks. Ia harus bisa membedakan mana yang merupakan teks utama dan mana yang interpolasi (tambahan dari penyalin), serta mampu menyusun edisi kritis yang bisa digunakan oleh peneliti lintas bidang.
Di Nusantara, banyak naskah berbahasa Jawa Kuno, Arab Pegon, Melayu, atau Bugis dan bahasa adat lainya yang belum tersentuh. Mereka diam dalam rak perpustakaan atau koleksi pribadi, menunggu disentuh oleh mata filolog yang penuh ketekunan.
Tantangan dan Harapan
Tantangan terbesar ilmu filologi hari ini adalah minimnya regenerasi. Di tengah maraknya riset-riset instan dan minimnya dukungan dana terhadap kajian naskah, ilmu ini rentan terpinggirkan. Padahal, revitalisasi nilai-nilai lokal mulai dari etika, spiritualitas, hingga politik kebangsaan bisa ditemukan lewat pembacaan teks-teks lama.
Harapannya, generasi muda tidak hanya tertarik pada teknologi mutakhir, tetapi juga pada akar identitas bangsanya. Melalui filologi, kita bisa memahami siapa diri kita sebenarnya, bagaimana para leluhur berpikir, serta bagaimana budaya kita berkembang.
Akhir kata Filologi bukan sekadar membaca teks tua, melainkan menafsirkan ulang masa lalu untuk memberi makna pada masa kini dan masa depan. Di tengah dunia yang sering lupa sejarahnya, para filolog adalah penjaga waktu, pelindung kearifan, dan perawat peradaban.
Menyelami naskah berarti menyelami jiwa bangsa. Dan melalui filologi, kita tidak hanya mengenang tetapi juga melestarikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI