Sekolah pun tidak luput dari kritik. Banyak institusi pendidikan, baik negeri maupun swasta, tidak memiliki fasilitas ramah difabel. Ruang kelas bertingkat tanpa ramp, buku pelajaran tanpa huruf braille, atau guru yang belum terlatih menghadapi siswa berkebutuhan khusus masih menjadi pemandangan umum. Akibatnya, banyak anak difabel yang akhirnya putus sekolah atau terpaksa belajar di rumah karena sistem pendidikan tidak mengakomodasi mereka.
Layanan publik juga menunjukkan kelalaian yang serupa. Kantor pemerintahan, rumah sakit, hingga tempat ibadah sering kali tidak menyediakan fasilitas yang inklusif. Antrian yang terlalu panjang tanpa kursi, loket pelayanan yang terlalu tinggi, atau formulir yang tidak tersedia dalam format aksesibel menciptakan hambatan tambahan. Ironisnya, fasilitas yang seharusnya dibangun dengan uang pajak semua warga, justru mengabaikan sebagian warganya.
Masalah ini semakin parah ketika proyek infrastruktur besar dibangun tanpa melibatkan partisipasi difabel dalam tahap perencanaan. Padahal, prinsip desain inklusif mengharuskan masukan dari pengguna dengan beragam kebutuhan agar hasilnya benar-benar bisa digunakan semua orang. Tanpa perspektif ini, aksesibilitas hanya akan menjadi lampiran kecil di akhir proyek, bukan inti dari perencanaan.
Kritik terhadap desain kota, sekolah, dan layanan publik ini bukan sekadar keluhan teknis, melainkan tuntutan hak asasi manusia. Sebuah negara tidak bisa menyebut dirinya merdeka jika ruang-ruang publiknya hanya bisa dinikmati sebagian warganya.
Inklusivitas sebagai Bagian dari Cita-Cita Kemerdekaan
Kemerdekaan bukan hanya tentang bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari diskriminasi dan hambatan struktural. Bagi difabel, kemerdekaan berarti memiliki kesempatan yang sama untuk bersekolah, bekerja, berpartisipasi dalam politik, dan menikmati ruang publik. Inklusivitas bukanlah konsep tambahan, melainkan inti dari makna kemerdekaan itu sendiri.
Sejarah kemerdekaan Indonesia sarat dengan narasi persatuan dalam keberagaman. Namun, keberagaman ini sering diartikan sebatas suku, agama, dan budaya, sementara keberagaman kemampuan fisik dan mental jarang diangkat. Padahal, jika semangat "Bhinneka Tunggal Ika" diterapkan secara konsisten, difabel seharusnya mendapat tempat yang setara di semua lini kehidupan.
Negara memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mewujudkan inklusivitas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah mengatur hak-hak mereka, tetapi implementasinya masih jauh dari ideal. Tanpa pengawasan yang ketat, kebijakan ini hanya menjadi dokumen tanpa dampak nyata di lapangan.
Masyarakat juga memegang peran penting. Inklusivitas bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga budaya sehari-hari. Perusahaan, komunitas, dan individu dapat memulai dari hal kecil: mempekerjakan difabel, menyediakan teks alternatif pada presentasi, atau menghapus istilah merendahkan dari percakapan. Sikap inklusif yang konsisten akan menciptakan ekosistem sosial yang ramah bagi semua.
Menjadikan inklusivitas sebagai cita-cita kemerdekaan berarti mengakui bahwa kebebasan sejati tidak akan tercapai jika sebagian warga negara masih harus berjuang ekstra keras hanya untuk mengakses hak yang seharusnya universal.