Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Paylater Menghilangkan Budaya Malu untuk Berutang

17 Mei 2025   09:19 Diperbarui: 17 Mei 2025   09:19 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aplikasi utang paylater yang menggeser utang menjadi ruang privat (Sumber: Kumparan.com)

Dalam masyarakat Indonesia, utang bukan hanya soal uang, tetapi juga soal harga diri. Orang tua kita tumbuh dalam budaya yang mengajarkan bahwa berutang adalah tanda ketidakmampuan, dan membayar utang adalah soal kehormatan. Bahkan ketika seseorang harus berutang, mereka melakukannya dengan berat hati dan dibicarakan dengan suara pelan. Di masa lalu, utang dilakukan dengan niat segera melunasi.
Budaya malu menjadi pengingat sosial yang efektif agar seseorang tidak gegabah dalam berutang.

Namun, kini segalanya berubah. Di era digital, utang tidak lagi datang dengan tatapan tetangga atau perasaan bersalah. PayLater, kartu kredit digital, dan layanan pinjaman online memberikan akses utang hanya dalam hitungan detik. Tidak ada lagi proses panjang, tidak ada lagi rasa malu. Yang ada justru kemudahan, kecepatan, dan kenyamanan. Orang bisa membeli sekarang dan membayar nanti tanpa berpikir panjang.

Fenomena ini mencerminkan transformasi budaya finansial yang sangat besar. Alih-alih melihat utang  sebagai opsi terakhir, sekarang, utang justru menjadi bagian dari gaya hidup harian. Ironisnya, bisa menggunakan layanan kredit digital dijadikan sebagai ukuran "dewasa" atau "mapan" di kalangan anak-anak muda sekarang.
Akibatnya, transaksi konsumtif makin banyak dilakukan atas dasar fasilitas cicilan, bukan kebutuhan yang mendesak.

Pola pikir ini diperdalam lagi melalui diksi-diksi yang digunakan dalam promosi layanan digital. Fintech paylater lebih sering memakai istilah-istilah seperti "cicilan ringan", "bayar nanti", atau "kemudahan finansial" ketimbang langsung menyebut kata" berutang ". Perubahan ini bukan hanya soal cara bayar, tapi juga bagaimana kita memahami dan memaknai konsep utang itu sendiri.

Maka, pertanyaannya menjadi relevan: apakah kita sedang menikmati kebebasan finansial baru atau justru terjebak dalam euforia konsumsi tanpa kendali? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri lebih jauh bagaimana budaya ini terbentuk dan apa dampaknya ke depan.

Dari Aib Jadi Alat Konsumsi: Normalisasi Utang dalam Budaya Pop

Ilustrasi budaya populer anak muda yang mendorong belanja sebagai gaya hidup (Sumber: rri.co.id)
Ilustrasi budaya populer anak muda yang mendorong belanja sebagai gaya hidup (Sumber: rri.co.id)

Tak bisa dipungkiri, budaya populer turut andil dalam memoles citra utang digital sebagai sesuatu yang modern dan aspiratif. Di media sosial, belanja bukan hanya kebutuhan, tetapi bagian dari identitas. Influencer membagikan haul produk mewah yang dibeli dengan cicilan, dengan caption seperti "#PayLater squad" atau "biar kantong tetap aman, belanja tetap jalan." Semua ini menormalisasi praktik utang sebagai bagian dari tren dan gaya hidup kekinian.

Layanan keuangan digital pun menangkap peluang ini dengan sangat cermat. Iklan mereka menggunakan visual anak muda sukses, tersenyum sambil checkout belanja online. Pesannya jelas: utang bukan hal menakutkan, tapi bagian dari mobilitas sosial dan modernitas. Bahkan, memiliki akses ke paylater kini menjadi simbol kedewasaan dan literasi digital, bukan lagi sinyal kesempitan.

Masalahnya, normalisasi ini sering tidak diiringi dengan pemahaman finansial yang memadai. Banyak pengguna yang hanya fokus pada kemudahan awal tanpa menghitung konsekuensi jangka panjang. Bunga tersembunyi, denda keterlambatan, dan efek psikologis dari beban utang menjadi bayang-bayang yang tak disadari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun