Saat akses utang menjadi pribadi dan tertutup, kontrol sosial yang dulu ada kini mulai luntur. Dulu, orang akan berpikir dua kali sebelum berutang, karena takut diketahui orang tua, tetangga, atau komunitas. Ini menandakan bahwa kini, utang terjadi dalam ruang privat, antara individu dan aplikasi yang memberi kebebasan  sekaligus menghapus pengingat sosial yang selama ini menjadi alat kontrol.
Perasaan malu dan tanggung jawab kolektif yang dulu kuat kini tergantikan dengan sikap permisif. Utang dianggap biasa, bahkan dianggap wajar untuk memenuhi gaya hidup. Dalih bahwa "nanti juga bisa dicicil" membentuk kebiasaan menunda kewajiban dan menggeser budaya tanggung jawab terhadap utang.
Selain itu, budaya dialog dan musyawarah terkait keuangan juga menghilang. Dulu, orang tua sering memberi nasihat soal utang, menekankan pentingnya menabung dan hidup sesuai kemampuan. Sekarang, edukasi finansial kalah cepat dari perkembangan fitur-fitur fintech. Hasilnya, banyak anak muda yang belajar dari pengalaman pahit, bukan dari peringatan bijak.
Lunturnya nilai sosial ini pasti akan mengundang risiko yang lebih berbahaya. Ketika utang tidak lagi disertai rasa tanggung jawab sosial, potensi gagal bayar pasti meningkat. Hal ini tidak hanya berdampak pada individu, tapi juga pada kestabilan sistem keuangan digital secara keseluruhan. Oleh karena itu, menghidupkan kembali budaya malu dalam berutang bukan berarti kita harus kembali ke masa lalu. Namun, bagaimana membawa nilai tanggung jawab lama ke dalam sistem keuangan baru yang serba cepat dan personal ini.
Ambiguitas Moral dan Narasi Kemajuan
Apakah semua ini adalah bentuk kemajuan atau tanda kemunduran? Di satu sisi, akses terhadap kredit memberi kesempatan bagi lebih banyak orang untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidup. Di sisi lain, jika tidak diiringi dengan literasi dan tanggung jawab, kemudahan ini justru bisa menjadi bumerang.
Ada ambiguitas moral yang belum selesai. PayLater bisa jadi jembatan menuju kesejahteraan, tapi juga bisa menjadi jurang konsumsi berlebihan. Kita sedang hidup dalam era ketika teknologi lebih cepat dari edukasi, dan gaya hidup lebih dulu berubah daripada sistem pendukungnya.
Pemerintah dan regulator keuangan kini dituntut untuk tidak hanya mengatur teknis pinjaman digital, tetapi juga menumbuhkan budaya finansial baru yang sehat. Edukasi, transparansi bunga, dan perlindungan konsumen harus berjalan seiring dengan inovasi fintech.
Kita juga perlu membangun narasi baru tentang kemapanan: bukan berdasarkan seberapa banyak cicilan yang bisa ditanggung, tapi seberapa bijak seseorang mengelola pengeluarannya. Modernitas sejati bukan pada seberapa cepat kita mengakses kredit, tapi seberapa sadar kita saat menggunakannya.
Jika tidak ada keseimbangan antara teknologi dan kedewasaan finansial, maka budaya utang digital bisa berubah dari kemajuan menjadi masalah sosial baru yang kompleks.