Pendekatan seperti ini memandang makanan bukan hanya sebagai kebutuhan, tapi juga medium pendidikan karakter. Anak belajar tentang kebersihan, kerja tim, serta merasakan apresiasi ketika makanan yang mereka buat dihargai. Dengan keterlibatan ini, disiplin tidak lagi hadir dalam bentuk perintah, tetapi dalam bentuk kesadaran.
Penelitian juga menunjukkan bahwa nutrisi berperan besar dalam pengaturan emosi. Asupan omega-3, zat besi, dan vitamin B kompleks berkontribusi langsung pada kestabilan mood dan kemampuan mengendalikan impuls. Artinya, anak-anak yang diasuh dengan makanan bergizi lebih siap secara biologis untuk menerima pembinaan yang konstruktif.
Di Indonesia, pendekatan ini masih minim diterapkan. Mayoritas barak pembinaan masih mengandalkan model komando yang menempatkan makanan sebagai logistik, bukan strategi pembinaan. Padahal dengan sedikit kreativitas, dapur bisa menjadi ruang dialog, dan makan bersama bisa menjadi momen refleksi bersama antara pembina dan anak.
Transformasi ini membutuhkan pelatihan ulang bagi para pembina, serta dukungan dari psikolog, ahli gizi, dan tokoh pendidikan. Nutrisi yang baik bukan hanya akan menyehatkan tubuh anak, tapi juga menumbuhkan ruang pengasuhan yang lebih manusiawi di tengah sistem disiplin yang keras.
Rekomendasi dan Peta Jalan Perubahan
Langkah pertama menuju perbaikan adalah menetapkan standar gizi nasional untuk institusi pembinaan anak. Standar ini harus mencakup jumlah kalori harian, kecukupan protein hewani dan nabati, variasi menu, serta aspek keamanan pangan. Selain itu, harus ada pengawasan berkala oleh tenaga gizi profesional yang bekerja independen dari pengelola barak.
Selanjutnya, negara perlu menyediakan pelatihan khusus bagi petugas dapur dan pembina tentang pentingnya gizi dalam proses tumbuh kembang anak. Pelatihan ini tidak hanya teknis, tapi juga menyentuh aspek etika dan hak anak. Makanan bukan alat hukuman. Ia adalah bagian dari sistem perlindungan.
Penting pula untuk melibatkan anak dalam proses penyusunan dan evaluasi menu. Hal ini akan memberi mereka rasa memiliki, sekaligus memperkenalkan keterampilan hidup (life skills) yang penting. Proyek "dapur bersama" bisa menjadi alat edukasi yang kuat jika dipandu dengan tepat.
Koordinasi antar lembaga juga krusial. Kementerian Sosial, Dinas Kesehatan, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), serta organisasi masyarakat sipil perlu duduk bersama menyusun kerangka kerja yang saling melengkapi. Tanpa sinergi, upaya perbaikan akan terhambat oleh tumpang tindih peran dan minimnya akuntabilitas.
Akhirnya, keberhasilan reformasi harus diukur dari indikator yang jelas: peningkatan skor kesehatan anak, turunnya insiden kekerasan di barak, serta lahirnya narasi-narasi positif dari anak-anak binaan yang merasa dihargai sebagai manusia seutuhnya.