Namun dalam praktiknya, konsep hak anak ini kerap dikaburkan oleh narasi moralistik. Anak yang dianggap bersalah dipandang tidak pantas mendapat "kenyamanan" seperti makanan enak atau bergizi. Pandangan ini telah menyalahi prinsip hukum sekaligus memperpanjang rantai kekerasan struktural. Negara yang membiarkan kelaparan tersembunyi di balik tembok pembinaan adalah negara yang lalai terhadap mandat konstitusionalnya.
Tanggung jawab negara dalam hal ini mencakup pengawasan, penganggaran, dan penyediaan layanan pangan yang bermutu di setiap lembaga pembinaan anak. Ini bukan soal belas kasih, melainkan kepatuhan pada prinsip hukum dan kemanusiaan. Negara harus hadir sebagai pelindung yang memastikan bahwa proses pembinaan tetap berada dalam koridor keadilan dan kesehatan.
Dengan menjadikan nutrisi sebagai kebutuhan teknis sekaligus bagian dari hak anak, maka pendekatan pembinaan bisa bertransformasi menjadi lebih manusiawi dan berjangka panjang. Anak-anak yang dipenuhi gizinya akan lebih siap menyerap nilai, mengelola emosi, dan merekonstruksi identitasnya dengan cara yang sehat.
Potret Makanan di Balik Tembok Pembinaan
Laporan-laporan dari media dan LSM yang bekerja di bidang perlindungan anak menunjukkan bahwa kondisi makanan di barak pembinaan sering kali jauh dari layak. Menu yang monoton, minim sayuran, protein yang nyaris absen, serta jam makan yang tidak konsisten menjadi cerita yang berulang. Di beberapa tempat, makanan bahkan digunakan sebagai bagian dari sistem hukuman: anak yang dianggap melanggar aturan hanya diberi nasi dan garam, atau dipaksa makan dalam waktu terbatas.
Kondisi ini menciptakan risiko besar terhadap kesehatan anak. Kekurangan zat gizi esensial seperti zat besi, kalsium, dan vitamin A tidak hanya berdampak pada fisik, tapi juga mengganggu kestabilan emosi dan konsentrasi. Dalam jangka panjang, malnutrisi yang berlangsung selama masa remaja dapat menyebabkan gagal tumbuh (stunting sekunder), anemia kronis, dan gangguan kognitif yang tak bisa dipulihkan sepenuhnya.
Lebih dari itu, praktik semacam ini memperkuat budaya kekerasan dalam sistem pembinaan. Alih-alih mengajarkan tanggung jawab, anak justru belajar bahwa rasa lapar adalah bentuk kontrol dan bahwa tubuh mereka bukan milik mereka sendiri. Ini membentuk pola pikir penuh dendam atau penyerahan diri yang ekstrem, dua kutub berbahaya dalam perkembangan psikologis remaja.
Institusi pembinaan seharusnya menjadi tempat transisi menuju kehidupan yang lebih sehat dan teratur. Namun tanpa dukungan gizi yang memadai, anak-anak ini justru dijauhkan dari peluang untuk memperbaiki diri secara menyeluruh. Sistem yang membiarkan kekurangan gizi dalam pembinaan adalah sistem yang membiarkan anak-anaknya gagal dua kali: sebagai anak dan sebagai manusia masa depan.
Pengumpulan data dan transparansi menjadi langkah awal. Negara perlu mendorong audit terbuka terhadap kualitas makanan di lembaga-lembaga pembinaan anak. Tanpa data, tak akan ada perubahan. Dan tanpa pengakuan bahwa ada masalah, tak akan pernah ada solusi.
Nutrisi sebagai Pendekatan Humanis dalam Pendidikan Disiplin
Di luar negeri, sejumlah program pembinaan anak bermasalah mulai menggunakan pendekatan berbasis gizi dan partisipasi dapur sebagai bagian dari pemulihan perilaku. Di Norwegia, misalnya, anak-anak dalam institusi rehabilitasi diberi tanggung jawab untuk mengatur menu mingguan, memasak bersama staf, dan mendiskusikan asal-usul makanan. Hasilnya bukan hanya peningkatan gizi, tetapi juga peningkatan rasa empati, kerja sama, dan pemahaman akan konsekuensi pilihan.