Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Menyaring Obrolan agar "Social Energy" tetap Stabil

4 April 2025   08:01 Diperbarui: 4 April 2025   09:05 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana obrolan yang santai dan menyenangkan (Sumber: Dokumentasi pribadi)


Social Energy atau energi sosial adalah kapasitas psikologis seseorang untuk terlibat dalam interaksi sosial. Sama seperti tubuh yang membutuhkan energi fisik untuk bergerak, pikiran dan emosi juga memerlukan energi untuk menyimak, merespons, berempati, dan menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial. Social Energy bukan hanya tentang mood atau suasana hati, tetapi juga menyangkut kesiapan mental untuk berinteraksi dalam konteks sosial tertentu. Energi ini bisa naik atau turun tergantung situasi, topik pembicaraan, jumlah orang yang terlibat, bahkan suasana ruangan tempat pertemuan berlangsung.


Konsep ini menjadi semakin penting untuk dipahami karena tidak semua orang memiliki kapasitas yang sama dalam menghadapi keramaian atau percakapan sosial. Ada yang merasa terisi (energized) setelah berbicara dengan banyak orang, namun tak sedikit pula yang merasa drained atau lelah setelah terlalu banyak interaksi. Dengan memahami keberadaan dan dinamika Social Energy, kita bisa menjadi lebih peka terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam konteks sosial.

Mengapa Social Energy Penting dalam Pergaulan Sosial?


Social Energy memiliki peran vital dalam menentukan kualitas interaksi kita dengan orang lain. Ketika energi sosial kita berada dalam level tinggi, kita bisa tampil lebih hangat, ramah, dan terbuka terhadap cerita atau pendapat orang lain. Sebaliknya, saat energi ini rendah, kita lebih rentan untuk merasa canggung, cepat tersinggung, atau bahkan menarik diri dari percakapan. Energi sosial yang cukup memungkinkan kita untuk hadir secara utuh dalam percakapan---baik secara mental maupun emosional.

Dalam pergaulan sosial, ketidaksadaran terhadap Social Energy bisa memunculkan konflik atau kesalahpahaman. Misalnya, seseorang yang terlihat "jutek" saat kumpul keluarga bisa jadi hanya sedang kelelahan secara sosial, bukan karena tidak menghargai kebersamaan. Oleh karena itu, mengenali kapasitas dan batasan diri dalam hal energi sosial adalah bagian dari kecerdasan emosional yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sosial yang sehat dan harmonis.

Peran Social Energy dalam Menjaga Kehangatan Silaturahmi Lebaran


Momentum Lebaran adalah salah satu momen sosial terbesar dalam budaya Indonesia, di mana interaksi lintas generasi, latar belakang, dan nilai hidup bertemu dalam satu ruang yang padat. Di sinilah Social Energy diuji dan dibutuhkan secara intens. Berkumpul bersama keluarga besar, bertukar cerita, menjawab pertanyaan basa-basi atau sensitif, hingga menjaga sopan santun menjadi tuntutan sosial yang bisa menyenangkan sekaligus melelahkan.

Dalam konteks ini, Social Energy berperan sebagai bahan bakar utama yang memungkinkan kita tetap ramah, sabar, dan hangat selama silaturahmi. Tanpa manajemen yang baik, energi sosial bisa cepat habis, membuat kita justru kehilangan momen berharga karena merasa tertekan atau jenuh. Mengelola Social Energy secara sadar akan membantu kita menikmati interaksi Lebaran tanpa harus mengorbankan kenyamanan mental kita sendiri.

Maka dari itu, kesadaran akan pentingnya Social Energy tidak hanya berguna untuk diri sendiri, tetapi juga menjadi bentuk empati terhadap orang lain. Ketika semua pihak mampu mengenali dan menghargai batasan energi sosial, silaturahmi Lebaran bisa berlangsung lebih hangat, menyenangkan, dan saling membangun.

Menjaga Social Energy dengan Teknik Obrolan


Setiap obrolan memiliki daya: ada yang mengangkat semangat, ada pula yang menurunkan motivasi. Topik yang ringan dan menyenangkan seperti cerita masa kecil, hobi, atau pengalaman lucu cenderung memberikan efek positif pada Social Energy. Percakapan semacam ini menciptakan rasa nyaman dan terhubung tanpa beban, sehingga menjadi semacam booster yang membuat kita betah berlama-lama di tengah keramaian. Ini adalah jenis obrolan yang mampu menstimulasi dopamine sosial---memberi rasa senang dan dihargai.

Namun sebaliknya, ada pula obrolan yang sifatnya menguras energi, seperti membahas kekurangan orang lain, mempertanyakan keputusan hidup pribadi (misalnya soal jodoh atau pekerjaan), atau melempar perbandingan sosial yang tidak sehat. Obrolan yang judgmental, merendahkan, atau terlalu menuntut justru menjadi drainer bagi Social Energy. Bahkan pilihan kata seperti "kok kamu belum..." atau "kamu sih harusnya..." seringkali menyimpan muatan tekanan sosial yang berat.

Pilihan bahasa juga memiliki peran besar. Nada bicara, ekspresi wajah, serta konteks kalimat bisa memperkuat atau meluruhkan energi sosial. Kata-kata yang mengandung dukungan emosional atau pujian ringan seringkali cukup untuk membuat suasana hati seseorang meningkat secara instan. Sebaliknya, komentar sarkastik atau merendahkan bisa menyulut rasa tidak nyaman yang berlarut-larut.

Di momen Lebaran, sensitivitas terhadap topik dan bahasa menjadi krusial karena semua orang berkumpul dengan berbagai latar belakang cerita hidup. Oleh karena itu, menyaring topik obrolan menjadi keterampilan yang tidak hanya penting untuk menjaga Social Energy sendiri, tetapi juga menciptakan ruang aman bagi orang lain. Kita perlu sadar bahwa kadang niat basa-basi pun bisa berakhir sebagai beban psikologis jika tidak dikelola dengan bijak.

Dengan kata lain, teknik menjaga Social Energy dapat dimulai dari kesadaran memilih kata, memahami waktu yang tepat untuk berbicara, serta kemampuan membaca situasi dan perasaan lawan bicara.

Mengenali Interaksi yang Memberikan Energi


Tidak semua interaksi sosial menguras energi. Ada jenis-jenis percakapan yang justru menyegarkan pikiran dan hati. Interaksi yang menguatkan biasanya melibatkan pertukaran cerita yang tulus, tawa yang ringan, serta empati yang mendalam. Kita merasa didengar, dihargai, dan tidak dihakimi. Seringkali, hanya dengan mendengar seseorang berkata "sama kok, aku juga pernah merasa seperti itu," kita sudah merasa terhubung secara emosional.

Ciri lain dari interaksi yang memberi energi adalah ketika kita merasa waktu berjalan cepat karena percakapan begitu menyenangkan. Biasanya ini terjadi saat kita berbicara dengan orang yang frekuensinya sejalan atau ketika topiknya sesuai dengan minat pribadi. Dalam suasana Lebaran, ini bisa terjadi ketika berbagi cerita masa kecil, mengenang kenangan bersama, atau berbicara tentang hobi dan impian masa depan.

Kita juga bisa menciptakan interaksi yang menguatkan dengan menjadi pribadi yang memberi ruang. Memberi orang lain kesempatan untuk bercerita, tidak memotong, atau tidak buru-buru menghakimi adalah bentuk interaksi yang memberi energi. Saat orang merasa aman dan diterima dalam percakapan, energi sosial yang tercipta pun saling mengisi, bukan saling menguras.

Sebaliknya, interaksi yang terlalu banyak tuntutan, mengandung tekanan sosial, atau diwarnai sikap superior cenderung menguras energi. Misalnya, percakapan yang berubah menjadi ajang pamer pencapaian, diskusi yang membanding-bandingkan pilihan hidup, atau pertanyaan yang terlalu pribadi tanpa konteks yang tepat.

Untuk itu, penting bagi kita untuk menjadi kurator dalam interaksi sosial: memilih mana yang akan kita ikuti secara penuh, mana yang cukup kita tanggapi secara singkat, dan mana yang sebaiknya kita hindari demi menjaga kondisi mental dan emosional.

Cara Menavigasi Percakapan 


Salah satu cara menjaga Social Energy tetap stabil adalah dengan menjadi pendengar aktif namun selektif. Aktif berarti kita benar-benar hadir dalam percakapan, menyimak dengan tulus dan memberikan respons yang relevan. Namun selektif berarti kita juga tahu kapan dan pada siapa energi itu perlu diberikan. Tidak semua cerita perlu kita tanggapi secara emosional jika ternyata akan membuat kita ikut lelah atau terbebani.

Pendengar aktif selektif tahu kapan harus menyimak penuh dan kapan cukup mendengarkan dengan sopan. Mereka juga tahu batas antara empati dan over-invested---terlalu larut dalam cerita orang lain hingga lupa menjaga diri sendiri. Teknik ini berguna untuk mencegah kelelahan emosional, apalagi dalam suasana Lebaran yang penuh dengan ragam cerita dan dinamika antarindividu.

Kita juga bisa menavigasi obrolan dengan mengajukan pertanyaan terbuka yang memancing respons positif. Daripada bertanya, "Kapan nikah?" akan lebih menyenangkan jika bertanya, "Lagi tertarik ngulik hal apa belakangan ini?" atau "Pernah punya momen Lebaran paling lucu enggak?" Jenis pertanyaan ini membuka ruang untuk cerita yang ringan, unik, dan menghibur.

Selain itu, perhatikan tanda-tanda percakapan mulai berjalan ke arah yang kurang sehat. Bila diskusi mulai menjadi kompetisi, debat, atau melibatkan gosip, ini adalah saat yang tepat untuk mengalihkan topik atau menarik diri secara sopan. Menavigasi percakapan artinya kita memiliki kendali untuk membawa interaksi ke arah yang lebih bermakna dan sehat.

Dengan memiliki sensitivitas terhadap arah dan intensitas percakapan, kita tidak hanya menjaga Social Energy kita sendiri, tapi juga membantu menciptakan ekosistem komunikasi yang lebih sehat, inklusif, dan menyenangkan.

Mengenali Tanda-Tanda Social Energy Mulai Menurun


Salah satu keterampilan penting dalam menjaga stabilitas Social Energy adalah mengenali tanda-tanda bahwa energi kita mulai menurun. Gejalanya bisa sangat halus: merasa tidak fokus saat mendengarkan, mulai merasa jengkel tanpa alasan jelas, keinginan untuk menjauh dari keramaian, atau munculnya rasa enggan untuk berbicara. Ini adalah alarm internal bahwa Social Energy kita sedang mendekati titik kritis.

Seringkali kita mengabaikan tanda-tanda ini karena merasa tidak enak atau takut dianggap tidak sopan jika meninggalkan percakapan. Padahal, mengenali dan merespons sinyal tubuh dan pikiran ini adalah bentuk perawatan diri yang sehat. Lebih baik mengambil jeda sejenak dan kembali dengan energi baru, daripada memaksakan diri hingga akhirnya menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan.

Salah satu cara praktis untuk mundur sejenak adalah dengan teknik "micro-break." Ini bisa berupa pergi ke dapur untuk minum, membantu tuan rumah, ke kamar mandi, atau sekadar duduk di sudut ruangan sambil memeriksa ponsel. Micro-break yang berdurasi 3-5 menit sudah cukup untuk memberi ruang napas dan mereset energi.

Social Energy bukan tanda kelemahan, tapi indikator kapasitas yang perlu dikelola. Semakin kita mendengarkan tubuh dan pikiran, semakin baik kita bisa menjaga kualitas interaksi dan suasana hati secara keseluruhan.

Akhirnya, menjaga keseimbangan antara partisipasi dan waktu untuk diri sendiri adalah kunci agar silaturahmi tidak menjadi beban, tetapi tetap menjadi momen yang bermakna dan menyenangkan.

Menjaga kestabilan Social Energy selama kumpul-kumpul Lebaran bukanlah sesuatu yang mustahil, asalkan kita memiliki kesadaran dan keterampilan dasar dalam menyaring obrolan. Dengan pengelolaan Social Energy yang baik, suasana silaturahmi dapat berlangsung lebih hangat, nyaman, dan penuh makna. Kita menjadi lebih mampu hadir secara utuh dalam percakapan, tidak sekadar berbasa-basi, melainkan benar-benar terhubung secara emosional dengan orang-orang di sekitar.

Hal ini berdampak positif  terhadap hubungan personal sekaligus dinamika keluarga dan komunitas yang lebih inklusif serta suportif. Social Energy yang terjaga akan membentuk kenangan indah yang mengisi momen Lebaran dengan kebersamaan yang sehat dan membahagiakan.

Karena itu, mari kita mulai lebih sadar dalam memilih dan mengelola interaksi sosial kita, terutama di momen penting seperti Lebaran. Setiap individu memiliki kapasitas sosial yang berbeda, dan menghormati batas diri maupun orang lain adalah bagian dari adab sosial yang bijak. Dengan menjadi lebih peka terhadap energi sosial, kita tidak hanya menjaga kesehatan mental diri sendiri, tetapi juga turut menciptakan ruang sosial yang lebih sehat dan menyenangkan bagi semua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun