Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revitalisasi Bumi Teater di Era Revolusi Industri 4.0

22 November 2019   23:21 Diperbarui: 25 November 2019   06:39 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani bersama orang-orangan sawah dalam Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE

Pasang-surut gelombang seni tidak menyebabkan Bumi Teater turut tenggelam. Karya-karya Bumi Teater terus ditunggu dan mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia khususnya Sumatera Barat. Potensi Bumi Teater sebaiknya dirawat dan dipelihara dengan serius, terutama dalam meningkatkan nilai ekonomi teater. Agar teater menjadi seni unggulan yang bisa menghidupi kehidupan para praktisinya (pengurus/anggota) dan tidak tersingkir dari panggung Revolusi Industri 4.0.                     

 

Citra Cross Cultural Fertilization dan Rekonstruksi Tradisi dalam Karya Wisran Hadi 

 

Menjauhlah!

Menjauhlah para penjarah, pemecah-belah, dan pengabur sejarah....

— Fragmen narasi Wayang Padang karya Wisran Hadi 


Setelah vakum selama tujuh tahun, Bumi Teater berhasil mementasakan Wayang Padang pada tahun 2006. Wayang sangat identik dengan kesenian yang berakar dari budaya Jawa dan tidak populer dalam masyarakat masyarakat Minang. Dalam ribuan etnis di Indonesia, etnis Minang ikatan primordial yang sangat erat dan rentan menolak invansi yang disertai dominasi budaya lain, termasuk budaya tradisional Jawa. Berdasarkan silsilah sejarah dominasi Jawa terhadap Minang, pementasan Wayang Padang layak untuk ditentang pementasannya khusunya di Padang.  

Pementasan Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Pementasan Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Realitasnya, Wayang Padang dipentaskan Bumi Teater tampil memukau penonton di Taman Budaya Padang pada 3 Juli 2006. Selanjutnya, Wayang Padang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki 14-16 Juli 2006. Karya ini semakin mengukuhkan kontrubusi besar Wisran Hadi dalam Cross Cultural Fertilization di dunia teater.      



Wayang Padang berkisah tentang seorang penghulu yang menjual tanah pusaka--berupa persawahan mencakup sawah, air, dan pasir karena beban utang yang semakin tidak terpikul--untuk mendapatkan uang pembeli (uang jemputan) pria bagi keponakan perempuannya yang menjadi perempuan penunggu tanah pusaka. Uang jemputan merupakan salah satu adat yang masih bertahan di Sumatera Barat khususnya daerah Pariaman. Di sisi lain, menjaga harta pusaka (tanah pusaka) merupakan kewajiban dan tidak boleh dijual.       

Petani bersama orang-orangan sawah dalam Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Petani bersama orang-orangan sawah dalam Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Wujud wayang dalam pementasan Wayang Padang tidak berupa wayang yang telah menjadi konvensi Jawa seperti wayang golek atau wayang kulit; tetapi muncul sebagai orang-orangan sawah dengan kepala dari balon yang diberi kemeja dengan rangka dari bambu—tanpa sarung yang disampurkan. Selain itu, muncul pula burung-burung berupa aktris dengan kostum daun-daun pisang, serta petani berupa kerangka bambu dengan kepala balon yang dilengkapi pakaian berupa kemeja bersampirkan sarung. Peran wayang dimainkan aktor-aktor yang bertindak sebagai dalang atau pemeraga wayang.        

Burung-burung dalam Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Burung-burung dalam Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Dalam kisah yang dipaparkan Wayang Padang, petani mengalami kebingungan dan kebimbangan. Mereka dihadapkan dua pilihan yang sama beratnya: memihak penghulu yang akan menjual tanah pusaka untuk menjalankan adat ‘uang jemputan’ atau memihak perempuan yang menjaga tanah pusaka. Kedua pilihan tersebut semakin berat karena sama-sama mengatasnamakan adat. Otoritas penghulu yang dominan; mendorong petani untuk mencari kehidupan baru dan tanah pusaka yang baru. Akhirnya petani menyadari bahwa keberadaan mereka akan selalu terombang-ambing antara harapan untuk tanah pusaka yang baru dan dorongan untuk mempertahankan tanah pusaka.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun