Setiap tahun, dunia menunggu siapa yang akan meraih penghargaan Nobel di bidang sains dan teknologi---entah itu dalam fisika, kimia, atau kedokteran. Nama-nama ilmuwan dari Amerika, Eropa, dan beberapa negara Asia seperti Jepang atau China sering muncul dalam daftar penerima. Namun, satu hal yang hampir selalu absen: nama peneliti dari Indonesia.
Mengapa demikian? Apakah peneliti Indonesia kurang cerdas? Kurang inovatif? Ataukah memang sistem yang tidak mendukung mereka untuk bisa sampai di sana?
1. Budaya riset yang belum mengakar
Menjadi ilmuwan sejati bukan sekadar bekerja di laboratorium, tetapi membangun tradisi berpikir kritis, rasa ingin tahu tinggi, dan keberanian menantang paradigma lama. Sayangnya, budaya riset di Indonesia masih sebatas formalitas akademik---untuk memenuhi syarat kenaikan jabatan atau laporan akhir hibah penelitian.
Di banyak kampus, riset sering dilakukan karena "kewajiban administratif", bukan karena "panggilan ilmiah". Akibatnya, hasil penelitian sering berhenti di laporan akhir dan jarang berlanjut menjadi inovasi yang berdampak luas.
2. Sistem pendanaan yang tidak berkelanjutan
Penelitian butuh waktu panjang dan biaya besar. Namun, skema pendanaan di Indonesia masih bersifat tahunan dan terbatas. Proposal penelitian harus menyesuaikan dengan tema prioritas pemerintah yang berubah-ubah, bukan berdasarkan kebutuhan ilmiah yang mendalam.
Ketika penelitian baru mulai menemukan arah, dana sudah berhenti. Akhirnya, peneliti kehilangan momentum untuk menembus penemuan besar.
Sementara di luar negeri, riset bisa dibiayai bertahun-tahun dengan tim besar dan dukungan infrastruktur lengkap. Di sana, seorang peneliti didorong untuk fokus mendalami satu bidang hingga benar-benar menemukan sesuatu yang baru, bukan berpindah-pindah topik karena tuntutan program.
3. Infrastruktur riset yang tertinggal
Untuk bersaing di level Nobel, riset harus memiliki akurasi tinggi, data yang kuat, serta dukungan peralatan berteknologi mutakhir. Fakta di lapangan menunjukkan, banyak laboratorium di Indonesia masih menggunakan alat yang sudah berusia puluhan tahun.
Beberapa instrumen canggih harus dikirim ke luar negeri untuk analisis, yang tentu memakan waktu dan biaya besar. Padahal, di negara lain, mahasiswa doktoral pun bisa mengakses peralatan dengan teknologi terkini.