Beberapa hari terakhir, linimasa Facebook saya dipenuhi iklan maklon produk farmasi----mulai dari skincare, suplemen herbal, sampai obat tradisional siap edar. Entah dari mana datangnya, tetapi algoritma seolah sudah bisa membaca isi kepala dan kecenderungan hati penggunanya.
Jujur saja, saya tidak terganggu. Malah senang, karena iklan-iklan itu membuka sudut pandang baru: banyak sekali peluang menciptakan produk farmasi melalui kerja sama industri. Saking banyaknya penawaran, saya malah sempat bingung memilih, mana yang paling serius dan tepat untuk diajak kerja sama.
Dari situ muncul satu kesimpulan sederhana: industri farmasi, terutama yang bergerak di bidang maklon, ternyata menumpuk di Pulau Jawa. Jumlahnya begitu masif sampai-sampai di kota saya, tidak berdiri satu pun industri sejenis. Ironis tapi nyata.
Karena itu, saya kerap tersenyum simpul ketika ada asesor akreditasi datang ke kampus dan menanyakan, "Bagaimana keterlibatan industri dalam penyusunan visi misi dan kurikulum Program Studi?"
Saya selalu berpikir:
Lha wong industrinya saja tidak ada di dekat kami. Kami ini meraba-raba sambil membangun arah sendiri, bukan seperti kawan-kawan di Jawa yang tinggal menyeberang jalan untuk menggandeng mitra.
Di sisi lain, fakta soal peluang mahasiswa menjadi inovator produk farmasi sebenarnya terbuka lebar. Hanya saja, tidak banyak yang berminat menempuh jalur ini. Penyebabnya bisa macam-macam:
Ilmu kewirausahaan atau hilirisasi produk belum diberikan secara intens;
Pilihan karier farmasi masih dianggap luas dan aman di jalur konvensional (apotik, rumah sakit, industri);
Atau mungkin mental inovator masih kalah oleh ketakutan memulai.
Namun saya tidak bisa menyudutkan semua mahasiswa. Sepanjang karier saya, setidaknya ada satu mahasiswi yang berhasil membuktikan diri. Ia maklon ide produk kosmetiknya, lalu mengembangkan bisnis hingga sukses. Itu bukan hanya prestasi personal, tapi contoh bahwa jalur ini nyata, mungkin, dan layak diperjuangkan.
Fenomena iklan maklon di media sosial ini justru menjadi kaca pembesar:
Bahwa industri pengembangan produk farmasi sebenarnya sedang menggeliat;
Bahwa mahasiswa dan akademisi di luar Jawa tidak kekurangan peluang, hanya kekurangan akses langsung;
Bahwa kurikulum dan visi pendidikan farmasi perlu melihat ulang arah masa depan, bukan sekadar mempertahankan tradisi profesi.
Mungkin inilah saatnya kampus-kampus di luar Jawa membangun kolaborasi lintas wilayah, bukan sekadar menunggu industri lokal yang tak kunjung lahir. Di sisi lain, perlu keberanian dari mahasiswa untuk melihat dirinya bukan hanya sebagai calon tenaga kerja, tapi juga calon innovator dan pemilik merek.
Siapa tahu, dari satu kota kecil yang selama ini "tanpa industri", justru lahir para produsen farmasi masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI