Mohon tunggu...
Suksma Ratri
Suksma Ratri Mohon Tunggu... Lainnya - Senior Communication Officer and Gender Focal Point - Solidaridad Network Indonesia

Solidaridad Indonesia adalah sebuah lembaga nirlaba yang memfokuskan diri untuk pemberdayaan petani mandiri dan adaptasi terhadap perubahan iklim di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Sawit Baik" Versus "Sawit Jahat"

12 Oktober 2021   23:41 Diperbarui: 14 Oktober 2021   09:06 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melkianus Daikate, bersama kelas Sekolah Lapang yang difasilitasinya di Ketungau Hilir, Kalimantan Barat/Dokpri

Seseorang pernah berkata kepada saya, "Tidak ada istilah ramah lingkungan untuk sawit! Sawit itu tanaman kapitalis yang bisanya hanya merusak! Jahat sekali tanaman yang satu itu memang". Betulkah? Jika bicara soal label "tanaman kapitalis" bukankah semua jenis tanaman (bahkan benda apa pun) yang bisa diperjualbelikan adalah komoditi kapitalisme? Saya kemudian balik bertanya, "Menurutmu, apa solusinya untuk para petani sawit jika tanaman sawit ini dilarang?" katanya, "Ambil saja tanaman lain. Masih banyak tanaman yang lebih bermanfaat di bumi ini ketimbang sawit." saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan celotehnya. Bukan apa-apa, sebab orang itu tidak berasal dari pulau yang tanahnya memiliki keasaman tinggi sehingga tidak banyak tanaman pangan yang bisa bertahan. 

Betapa naifnya jika kita berpikir bahwa tanaman kelapa sawit hanya dibudidayakan oleh korporasi besar saja. Dan para petani sawit mandiri pun bukannya tidak punya tanaman komoditi lain. 

Rata-rata mereka juga punya kebun karet atau lada, tapi hasilnya tidak sepadan dengan hasil kebun sawit mereka. Harga karet mentah sangat fluktuatif, dan seringkali juga sangat rendah. 

Untungnya, karet yang sudah ditoreh bisa disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama, "Karet itu untuk persediaan di masa darurat, kak. Kalau sawit belum menghasilkan, atau gagal panen, kami jual lah sedikit karet simpanan kami itu sekedar untuk makan sehari-hari." Karet adalah "rainy days fund" mereka. Tabungan. Komoditi taktis.

Di banyak negara, orang mulai beralih mengonsumsi minyak berbahan dasar selain sawit. Namun hal ini juga memiliki tantangan tersendiri karena biasanya harganya jauh lebih mahal. Tidak usah masuk ke ranah kesehatan dulu, kita bicara soal ketersediaan dan daya beli warga Indonesia saja dulu untuk minyak konsumsi selain sawit. 

Apakah memungkinkan? Jika satu liter minyak goreng berbahan dasar sawit bisa dijual oleh merek ternama seharga 15,000 maka untuk minyak jagung harga per liternya bisa mencapai kisaran 54,000. Saya sendiri biasa membeli minyak goreng berbahan dasar biji bunga matahari seharga 27,500 untuk ukuran 500ml. 

Akhirnya saya harus memperlakukan minyak biji bunga matahari ini secara istimewa, sebagaimana saya memperlakukan minyak zaitun.  Idealnya tentu berbagai minyak konsumsi dengan bahan dasar yang variatif tersedia di pasaran dengan harga yang terjangkau. Tapi untuk saat ini sepertinya memang masih belum memungkinkan. Saya melihat banyak orang mulai mengarah ke gaya hidup sehat yang mengedepankan unsur kelestarian dan keberlanjutan. Namun prosesnya tidak bisa instan. Ada masa transisi yang harus dilalui dengan berbagai persiapan. 

Transisi yang humanis harus diperhitungkan. Jangan sampai kita bertransformasi ke arah gaya hidup ramah lingkungan namun sebenarnya secara tidak langsung juga menyengsarakan banyak orang di luar sana. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana transformasi gaya hidup ini tidak harus mematikan periuk nasi orang lain, dalam hal ini, petani sawit mandiri. Tak perlu juga ada sebutan "sawit baik" dan "sawit jahat" karena ini bukan kisah "Bawang Merah dan Bawang Putih", tapi alangkah lebih baik jika kita mengutamakan para petani.

Ketika orang berteriak soal bagaimana jahat dan merusaknya tanaman kelapa sawit ini, yang seketika terlintas di rongga kepala saya adalah para petani mandiri beserta keluarganya yang menggantungkan hidupnya dari tanaman ini. Bukan sederet nama-nama korporasi besar yang tamak dan egois. 

Terbayang bagaimana anak-anak usia sekolah di pelosok Kalimantan Barat yang saya temui harus berjalan kaki berkilo-kilo meter agar bisa tetap sekolah. Sekolah yang segala kelengkapan dan keperluannya dibayar oleh orang tuanya dari hasil bertanam sawit di lahan mereka sendiri. Bukan lahan sewaan pabrik besar. 

Ada sekelompok orang yang dengan tekun mengikuti kegiatan Sekolah Lapang yang kami buka untuk belajar bagaimana bercocok tanam sawit yang lebih baik dan akhirnya nanti bisa memberikan hasil panen yang optimal. Terbayang wajah-wajah penuh harapan yang semringah ketika belajar membuat pupuk organik sendiri yang berbiaya rendah dan bahannya ternyata banyak mereka temui di sekitar tempat tinggal mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun