Mohon tunggu...
Sukmasih
Sukmasih Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Resmi

Menulis berbagai hal dari sudut pandang kajian ilmu komunikasi. Belajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada 2020, Opini Publik, dan Ilusi Demokrasi

24 September 2020   06:10 Diperbarui: 24 September 2020   06:42 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada 2020/olahan pribadi untuk kompasiana

Pilkada 2020 adalah prosesi alih kekuasaan yang paling ditunggu oleh sejumlah orang yang memiliki kepentingan.

Sebagian peserta pilkada adalah petahanan, sebagian merupakan pasangan calon yang sama-sama berusaha menghimpun banyak dukungan. Ini adalah medan perang bagi para peserta pilkada yang memiliki kepentingan untuk memperebutkan kursi kekuasaan di daerah.

Seorang filsuf asal Tiongkok Mao Zedong mengatakan, politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah. Antara politik dan perang mungkin memiliki kesamaan, keduanya dilakukan untuk mencapai sesuatu. Politik dan perang merupakan ajang untuk mendapatkan kekuasaan. Benar, dengan kekuasaan maka seorang penguasa akan mampu memegang kendali atas aspek kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kontestasi pemilu menjadi arena perang tanpa pertumpahan darah.

Namun, ada yang berbeda dengan pilkada 2020. Pilkada 2020 dibayangi musibah non alam, yaitu pandemi covid-19. Benar, ini adalah musibah. Kehadiran pandemi covid-19 sejak awal 2020 telah banyak mengubah kondisi kehidupan manusia. Krisis kesehatan melanda umat manusia tak terkecuali rakyat Indonesia. Belum usai penanganan krisis kesehatan, kini manusia dilanda berbagai krisis, utamanya krisis ekonomi.

Masyarakat dihadapkan pada jurang kematian, itu adalah fakta yang nyata. Manusia dihimpit kematian, baik akibat virus maupun akibat kelaparan karena sulitnya mencari pundi-pundi uang di tengah masa pandemi.

Payahnya, kontestasi politik justru hadir di Indonesia saat rakyat dalam kondisi terhimpit. Maka suatu pertanyaan besar muncul, apakah manusiawi jika pemerintah tetap ingin menyelenggarakan pilkada di tengah meningkatnya kurva kasus covid-19?

Opini Publik
Jelang pilkada 2020 sejumlah opini publik bermunculan di media. Opini-opini ini hadir dari berbagai kalangan, baik kalangan elit pemerintahan, organisasi masyarakat hingga masyarakat umum. Media menjadi medan perang baru untuk menyampaikan berbagai opini terkait pelaksanaan pilkada 2020.

Melansir laporan harian koran Kompas edisi 22 September 2020, terdapat timeline mengenai suara publik terkait pelaksanaan pilkada 2020. Tertera pada 25 Mei 2020, muncul petisi melalui change.org bertema "Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021". Hingga 21 September 2020, petisi ini telah mendapat dukungan dari 33.580 orang.

Kemudian pada 11 September 2020, Komnas HAM merekomendasikan agar pelaksaan tahapan pilkada lanjutan ditunda sampai penyebaran Covid-19 berakhir atau minimal mampu dikendalikan berdasarkan data epidemilogi yang dipercaya. Pada 21 September 2020, suara serupa muncul dari berbagai organisasi keagamaan di Indonesia. Mulai dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia hingga Persatuan Umat Buddha Indonesia meminta pemerintah menunda pelaksanaan pilkada 2020 dan mengedepankan keselamatan rakyat.

Desakan untuk penundaan pilkada langsung pada 9 Desember  2020 datang dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla. Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Jusuf Kalla mengatakan bahwa pemerintah harus memilih antara kesehatan atau demokrasi.

Hadirnya opini publik adalah hal wajar mengingat saat ini seluruh elemen masyarakat sedang menghadapi berbagai macam krisis. Bernard Hennessy dalam Olii dan Erlita (2017) mengemukakan bahwa salah satu faktor munculnya opini publik karena adanya unsur kontroversi dalam suatu isu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun