Mohon tunggu...
Sukma Senja
Sukma Senja Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Pencari senja yang tak pernah diam.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Maksa Banget Sih Setarakan Rokok dengan Narkotika

13 April 2023   08:41 Diperbarui: 13 April 2023   08:42 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Rancangan UU Kesehatan lagi jadi perdebatan hangat di media baik di media online maupun di medsos. Gara-gara ada satu pasal yang sejajarkan rokok dengan narkotika. Jelas-jelas secara hukum itu dua entitas yang berbeda. Kasat mata saja, narkotika itu barang ilegal, sedangkan rokok komoditi legal yang bebas dijual-belikan. Kacau kan?Entah apa maksudnya si pembuat undang-undang menempatkan rokok setara dengan narkotika. Sengaja mau mematikan industri hasil tembakau? Atau jangan-jangan mengantisipasi legalisasi ganja ya kan siapa tahu beberapa tahun lagi ganja boleh diedarkan seperti di Belanda, Amerika Serikat, atau Thailand. Tapi pastinya kalau undang-undang ini jadi disetujui, ke depan bisa bikin aturan hukum menjadi tidak jelas. Nanti saya jelasin kenapa menempatkan rokok dan narkoba setara di dalam undang-undang menimbulkan ketidakpastian.

RUU Kesehatan yang sekarang lagi jadi polemik sebenarnya bertujuan menyederhanakan banyak aturan yang tumpeng tindih. Istilahnya omnibus law bidang kesehatan. Sebelumnya kita sudah punya omnibus law bidang ketenagakerjaan dalam bentuk UU Cipta Kerja. Istilah omnibus law pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk periode kedua pada 20 Oktober 2019.

Presiden waktu itu bilang kalau omnibus law adalah sebuah produk hukum yang akan membuat ketentuan hukum di Indonesia menjadi lebih sederhana dan tidak tumpang tindih. Sebab, satu produk hukum dapat mencabut, mengubah, dan menggantikan banyak produk hukum dalam waktu yang bersamaan.

RUU Kesehatan nantinya bakal mencabut dan mengubah sembilan undang-undang,  yaitu UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Kebidanan. Omnibus Law Kesehatan ini juga mengubah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Pendidikan Tinggi.

Sayangnya penyusunan RUU Kesehatan ini kontroversial dari awal. Rapat Dengar Pendapat (RDP) RUU Kesehatan yang akan berdampak kepada seluruh masyarakat Indonesia dilaksanakan tanpa adanya draft resmi dan Naskah Akademik sebagai dasar kajian. Yang menarik terdapat Naskah Akademik dan draft yang beredar di tengah masyarakat sehingga menimbulkan kehebohan dan kegemparan sejagad dunia profesi kesehatan. Baik DPR RI maupun Kementerian Kesehatan mengaku tidak pernah mengeluarkan Naskah Akademik dan draft tersebut. Kemudian Baleg DPR mengeluarkan draft RUU Kesehatan yang mirip  dengan draft yang beredar di masyarakat, di mana seharusnya ini dilakukan oleh Komisi IX sebagai mitra Kementerian Kesehatan.

Substansi atau isi RUU Kesehatan juga tidak lepas dari kontroversi. Paling parah memang bagian menempatkan rokok sejajar dengan narkotika ini. Ketentuan tersebut disebutkan dalam draf rancangan pasal 154 ayat (3) yang berbunyi "zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya." Hal ini merupakan sesat pikir yang luar biasa karena bagaimana mungkin barang ilegal dan barang legal disetarakan dalam satu rumusan pasal.

Secara definisi saja kedua hal ini sudah jelas berbeda. Berdasarkan PP 109/2012 Produk Tembakau adalah suatu produk yang secara keseluruhan atau sebagian terbuat dari daun tembakau sebagai bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dihisap, dan dihirup atau dikunyah. Sedangkan Menurut UU 35/2009 Narkotika secara jelas berbunyi bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Rokok yang berbahan baku tembakau, secara empiris tidak menimbulkan efek yang setara dimaksudkan dalam penjelasan terkait narkotika. Tembakau juga tidak menimbulkan efek ketergantungan, buktinya mayoritas perokok yang berpuasa misalnya dapat berhenti merokok selama berpuasa dan tidak menimbulkan gangguan fisik seperti orang yang kecanduan narkoba.

Pakar Tata Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, Sunny Ummul Firdaus, menilai ketentuan pukul rata zat adiktif ini menjadi klausul yang perlu diberikan penjelasan yang lebih komprehensif. "Jika dua kategori produk yaitu legal dan ilegal tersebut diperlakukan serupa, perlu ada penjelasan secara filosofis, empiris, dan yuridis karena dua kelompok produk ini memiliki aspek sosio kultural yang berbeda," kata Sunny, Selasa (4/4/2023).

Ketentuan ini jelas bermasalah karena dengan rumusan pasal demikian, konsekuensinya adalah narkoba dan produk hasil tembakau harus diperlakukan sama sesuai dengan asas kepastian hukum dan equality before the law. Ketentuan ini akan menjadi loophole yang di masa depan akan menimbulkan masalah akibat narkoba dan tembakau kedudukannya setara. Perlakuan yang sama akibat kedudukan setara ini berarti meliputi:

Pertama, pemerintah wajib mengenakan bea cukai kepada narkoba agar sama dengan tembakau atau mencabut cukai rokok agar perlakuannya sama dengan narkoba. Kedua, pemerintah harus menangkap penjual rokok atau membebaskan pengedar narkoba agar perlakuannya sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun