Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kenapa Ibu Menangis dan Aku Tak Perlu Bertanya Kenapa

21 November 2015   07:32 Diperbarui: 21 November 2015   09:08 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ibu menangis. Aku tak tahu penyebabnya. Aku juga tak berencana mencari tahu. Ibu akan mengatakannya sendiri nanti.

Aku sudah sering melihat ibu menangis. Pagi, siang, malam. Kadang-kadang dia menggumamkan sesuatu, tapi tak bisa kudengar dengan jelas apa. Aku tak tahu apakah Ibu menyadari kehadiranku pada saat-saat seperti itu atau tidak, tapi kupikir ada baiknya aku tidak menganggunya. Aku tak mau dia merasa semakin tertekan karena katarsisnya disela (Air mata membasahi seluruh tubuhnya).

Aku benar-benar tak perlu menganggunya di saat-saat seperti itu. Aku hanya akan menepuk pundaknya, menatap matanya dalam-dalam, dan meminta duit untuk membeli jajan atau layangan. Sering kali hal itu benar-benar aku lakukan, dan akhirnya Ibu berhenti menangis. Dia memberiku duit. Rambutnya terlihat masai. Aku tersenyum. Dia tersenyum sedikit, sedikit sekali. Tapi matanya itu. Matanya kulihat semakin sembab.

Rumah kami tak pernah sepi. Selalu ada orang-orang datang dan ngobrol di ruang tamu. Terkadang kalau ruang tamu sudah penuh, beberapa orang akan pindah ke taman belakang. Sama saja, rumah kami selalu ramai. Pernah aku coba menghitung jumlah mereka. Sebelas di ruang tamu dan sepuluh di taman belakang. Atau sebaliknya. Dan paling sedikit sepuluh orang. Tak pernah kurang. Rumah tetap ramai dan aku senang karena mereka semua ramah terhadapku. Satu-dua orang membawakanku oleh-oleh berupa balon-balon karet memanjang. Tapi karena napasku belum cukup kuat, aku tak bisa meniupnya hingga benar-benar kembung. Aku meminta tolong pada beberapa orang, tapi mereka selalu menolak dan tertawa dengan kerasnya. Mereka selalu berkata, “Dasar anak idiot.” Aku juga ikut tertawa sambil membawa pergi balon-balonku itu. Kalau sudah begitu Bapak akan menghampiriku dengan wajahnya yang selalu merah, memelintir kupingku. “Jangan ganggu teman-teman Bapak,” katanya. Aku mengangguk. Karena kalau aku tidak mengangguk, kupingku akan dipelintir lagi.

Orang-orang yang datang ke rumah semuanya laki-laki. Mereka datang dari jauh—aku tak pernah melihat mereka di sekitar komplek rumah. Wajah mereka lucu. Kumis dan jenggotnya aneh. Berbeda dengan Bapak, kebanyakan dari mereka memiliki kumis dan jenggot berwarna putih. Mereka pasti menggunakan terlalu banyak pasta gigi. Aku senang pada mereka. Aku senang karena mereka suka membicarakan yang baik-baik tentang Ibu. Mereka sering memuji Ibu. Ibu, kata mereka, mengerti bagaimana memuaskan laki-laki. Aku tak pernah mendengar yang seperti itu di sekitar komplek perumahan. Orang-orang di sekitar komplek selalu mengatakan Ibu itu ... Ah aku malas membicarakannya.

Orang-orang itu, bagiku, adalah contoh sederhana dari wujud kesabaran dan keteraturan. Mereka, oleh suatu sistem yang ditetapkan Bapakku, dengan mekanis menunggu seseorang keluar dari kamar Ibu, lalu seorang dari mereka yang duduk paling dekat dengan pintu kamar, kemudian masuk. Orang lain akan menggeser pantat mereka, menempati tempat duduk yang baru ditinggalkan dan menunggu. Begitu terus sampai orang-orang di rumah habis. Dan orang-orang itu, harus kutegaskan kembali demi rasa hormatku pada mereka, benar-benar orang yang baik. Setiap kali mereka keluar dari kamar Ibu, mereka pasti menyodorkan duit pada Bapak, menepuk pundak Bapak, dan kembali memuji Ibu, “Istrimu benar-benar hebat.” Tak pernah seorang pun keluar dari kamar Ibu tanpa senyum dan duit. Aku semakin senang pada mereka.

Mereka tak segan-segan menunggu dan memberikan duit untuk keluarga kecil kami yang sederhana. Dan Bapak memanfaatkan kebaikan mereka dengan bijaksana. Dia membelanjakan duit itu dengan cermat: beberapa potong baju baru buat kami setiap bulan, makanan enak, seprai baru bercorak bunga-bunga tiap minggu, dan beberapa kerat bir untuk dirinya sendiri. Oh, ya, terkadang Bapak membelikan Ibu perhiasan emas. Benda-benda yang memantulkan warna aneh tiap kali terkena cahaya lampu. Ibu menyukainya.

Pada awalnya (selalu pada awalnya, bukankah ini lucu?) memang aku sedikit kesal pada mereka. Setiap kali mereka masuk ke kamar Ibu, aku mendengar Ibu merengek dengan suara yang menyedihkan. Terkadang dia seperti memohon. Terkadang mangaduh dan menyebut nama Tuhan. Ibu kesakitan. Aku pikir mereka telah memukuli Ibu. Jadi, aku tanyakan hal itu pada Bapak. Bapak terkekeh-kekeh dan dia bilang bahwa itu cuma pikiranku saja. Mereka sedang merawat dan memijit Ibu, katanya, memberikan Ibumu apa yang dibutuhkan dan diinginkannya. Aku tak begitu mengerti, tapi sepanjang Ibu tidak terluka, aku tenang-tenang saja.

Tidak setiap hari semua itu berjalan dengan baik. Kadang-kadang Bapak terlalu mabuk untuk bisa membuka matanya, sehingga teman-temannya terpaksa pulang tanpa bisa menyalurkan kebaikan mereka. Terkadang teman-teman Bapak yang terlalu mabuk untuk bisa mematuhi aturan Bapak, sehingga harus menerima kalau besoknya mereka bangun dengan mata dan pipi agak lebam.

Sempat juga teman Bapak yang paling baik—dialah yang paling sering memberiku balon lonjong—mendadak kejang-kejang ketika berada dalam kamar Ibu. Ibuku menjerit. Bapak meminta beberapa orang membopong laki-laki itu keluar. Aku melihat perasaan jijik di wajah orang-orang itu. Mungkin karena laki-laki yang mereka bopong tak mengenakan apa pun. Apalagi ada banyak bekas borok di pantatnya. Lama kemudian baru aku ketahui kalau laki-laki itu mengidap epilepsi. Orang yang malang.

Tapi yang paling sering membuat Bapakku hilang akal adalah saat Ibuku menangis. Perempuan yang menangis. Tangis yang meledak-ledak seperti mercon tahun baru. Kalau sudah seperti itu Bapak tak akan bisa melakukan apa pun. Teman-temannya akan disuruh pulang dan datang esoknya. Dulu, kalau aku tak salah ingat, Bapak pernah mencoba menghentikan tangisan Ibu. Sekali saja. Dia melakukannya dengan sedikit sentuhan tangan dan kaki. Sentuhan yang menimbulkan suara yang mengoyak-moyak genderang telinga. Tapi bukannya berhenti menangis, Ibu malah semakin meledak. Dia meringis, seperti hewan mau disembelih. Dan kurasa hal itu membuat Bapak mengerti, karena Bapak tak pernah melakukannya lagi. Bapak hanya bisa mondar-mandir, khawatir. Tapi, untungnya, lama kelamaan dia jadi paham, dia cuma perlu menunggu. Membiarkan Ibu habis dengan air matanya. Berselonjor di ruang tamu, minum Bir Bintang. Hebatnya, Bapak tak pernah meninggalkan Ibu dalam kondisi seperti ini. Yang ada, akulah yang merengek minta diajak ke pasar malam atau pergi mengunjungi Bu Warman, penjual petasan di pinggiran kota. Dan Bapak tak pernah mengabulkan permintaanku. Aku tak terlalu sedih akan hal itu, tapi yang payah adalah selama Ibu menangis, Bapak jadi orang yang sedikit cuap. Dia berangsur diam seiring tangisan Ibu semakin kencang, dan baru berangsur cerewet lagi seiring tangisan Ibu berhenti. Meski yang dilakukannya tak lebih dari menunggu, kukira itu sudah lebih dari cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun