Mohon tunggu...
Sukma Ari Ragil Putri
Sukma Ari Ragil Putri Mohon Tunggu... -

pembelajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Polemik Globalisasi Transportasi di Indonesia

26 Juli 2018   14:39 Diperbarui: 26 Juli 2018   14:52 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Berbicara mengenai era digital tentunya tidak akan bisa lepas dari interconnection networking atau yang lebih umum dikenal dengan nama internet. Pamor internet baru meningkat di Indonesia pada awal tahun 2000. Berkembangnya era ponsel pintar kemudian juga semakin meningkatkan perkembangan penggunaan internet di Indonesia.

Tidak mengherankan jika kemudian berdasarkan survey yang dilakukan oleh sosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2016 meningkat tajam dari tahun 2014 sebanyak 51,8%.

Pada tahun 2014 pengguna internet di Indonesia berjumlah 88 juta jiwa dan pada tahun 2016 mencapai 132,7 juta jiwa, lebih dari 50% jumlah penduduk di Indonesia.

Jumlah tersebut tidak hanya terdiri dari pengguna internet dengan usia yang relatif muda atau biasa disebut generasi millennial saja.

Dari 132,7 juta pengguna internet, sekitar 70% penggunanya adalah digital native yaitu mereka yang ketika lahir dan tumbuh dewasa dalam lingkungan digital termasuk internet.

Digital native saat ini mencakup penduduk Indonesia yang berusia 15-35 tahun. Sedangkan 30%-nya merupakan digital immigrant, seperti halnya kaum pendatang atau imigran, penduduk yang berusia 36-54 tahun ini merupakan penduduk yang mencoba belajar mengadopsi teknologi baru di kehidupannya.

Peningkatan pengguna internet yang sangat pesat ini, baik digital native maupun digital immigrant, tidak disia-siakan oleh para pengusaha yang sebelumnya telah menjalankan usahanya secara konvensional.

Keberadaan internet dan segala kemudahan aksesnya dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menghasilkan inovasi-inovasi yang menguntungkan dengan dasar borderless atau tanpa batas.

Tanpa batas yang dimaksud di sini adalah inovasi yang memungkinkan pengguna internet untuk berkomunikasi kapanpun dan dimanapun.

Selain berkomunikasi, inovasi yang dihasilkan juga memungkinkan pengguna internet untuk berbelanja maupun melakukan pemesanan tiket dan transportasi secara daring (online) dimana saja dan kapan saja tidak terbatas waktu dan wilayah tempat tinggal.

Tidak mengherankan jika kemudian muncul inovasi yang dengan segera mendunia, yaitu transportasi online.

Diawali dengan kemunculan perusahaan asal San Fransisco, Uber, Inc pada tahun 2009, jumlah transportasi online bertambah. Di Indonesia sendiri selain Uber, terdapat Grab, perusahaan transportasi online asal Singapura, dan tak lupa perusahaan asli Indonesia yakni Gojek.

Dalam waktu singkat, transportasi online kemudian mendunia. Sebagai contoh, Uber terdapat di 54 negara dengan estimasi 500 ribu hingga 1 juta pengemudi.

Penggunaannya yang sangat mudah, tarif yang lebih murah daripada transportasi umum, dan kecepatan serta jaminan fasilitas yang terstandarisasi secara internasional menjadikan Uber global beberapa tahun terakhir.

Gambarannya adalah ketika seseorang dari Indonesia akan melakukan perjalanan ke London, dia tidak perlu bingung harus menghafalkan jadwal kereta bawah tanah atau kebingungan dengan tarif taksi di London yang bisa jadi di-mark up untuk para wisatawan. Cukup dengan ponsel pintar dan paket data internet serta memiliki aplikasi Uber, mereka sudah bisa memesan transportasi secara mudah dan transparan. Tarif jelas, jenis kendaraan dan identitas pengemudi juga tertera secara rinci diikuti dengan data-data pendukung lain seperti review dari penumpang sebelumnya.

Bahkan dari sebelum mereka sampai ke London, ketika masih di Indonesia, pengguna bisa memperkirakan estimasi tarif dan jarak ke tempat yang dituju di London untuk membuat rincian anggaran dan itinerary.

Globalisasi transportasi online tentunya tidak berjalan mulus. Ketika nyaris semua digital native memilih untuk menggunakan transportasi online dan sebagian digital immigrant yang telah berhasil beradaptasi dengan aplikasinya pun turut serta, keberadaan transportasi konvensional pun mulai tersaingi.

Persaingan antara transportasi online dan transportasi konvensional pun dimulai, dari persaingan yang sehat hingga yang cenderung mengarah ke aksi-aksi yang sifatnya anarkis.

Pengemudi transportasi konvensional di berbagai negara seperti Polandia, Kanada, Italia, Inggris, Australia, dan juga Indonesia mulai melakukan protes keras, mulai dari menuntut pembatasan wilayah penjemputan hingga menuntut transportasi online dihapuskan keberadaannya.

Di Indonesia sendiri, protes terjadi berkali-kali selama dua tahun terakhir, mulai dari yang protes teratur, pemogokan, hingga berujung pada perusakan kendaraan dan penurunan penumpang secara paksa.

Di beberapa tempat di Indonesia, di Surabaya misalnya, situasi antara pengemudi transportasi online dan konvensional terus saja memanas. Berkali-kali pengemudi angkot dan ojek pangkalan melakukan unjuk rasa di kantor Gubernur menuntut untuk tranportasi online dihapuskan.

Selain unjuk rasa, mereka juga melakukan hal-hal yang merugikan seperti pemogokan, penurunan penumpang secara paksa dari transportasi online, bahkan pemerasan dan pemukulan.

Pihak keamanan sendiri juga kewalahan dalam mengatasi situasi tersebut, terlebih sebelumnya pemerintah tidak kunjung menetapkan aturan yang tepat mengenai peredaran transportasi online ini.

Solusi yang diterapkan oleh pihak keamanan setempat akhirnya pengemudi transportasi online diperbolehkan untuk untuk menjemput penumpang di lokasi-lokasi umum seperti bandara, stasiun, maupun terminal dengan ditetapkan lokasi tertentu yang berada di luar area yang mengharuskan penumpang untuk berjalan cukup jauh.

Meski demikian, penumpang bukannya kemudian beralih kembali ke tranportasi konvensional namun bersedia melakukan usaha-usaha tertentu (seperti berjalan kaki, menunggu pengemudi datang, dsb) untuk tetap bisa menikmati fasilitas transportasi online.

Dengan melihat hal tersebut, tantangan yang dihadapi oleh transportasi konvensional di era digital cukup berat. Melihat masyarakat tetap berminat untuk menggunakan transportasi online di tengah situasi yang terus kacau akibat perselisihan kedua jenis transportasi tersebut, tidak ada buruknya jika transportasi konvensional kemudian berbenah diri. Memperbaiki sistemnya, tarif yang pasti, fasilitas yang memadai, dan jika memang dirasa kesulitan untuk perbaikan, bergabung dengan transportasi online yang sudah punya nama bisa menjadi solusi.

Pemerintah sendiri menghadapi globalisasi transportasi di era digital selain bekerja keras menetapkan aturan ini dan aturan itu ada baiknya juga menilik persoalan perseteruan yang ada sehingga bisa diambil keputusan yang sekiranya menjamin keamanan penumpang dalam berkendara baik menggunakan transportasi konvensional maupun transportasi online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun