Arsiran pensilku terhenti saat kudengar suara yang sudah sangat kukenal itu. Kuangkat kepalaku dari buku sketsa dan kulirik seseorang yang berada di ambang pintu kelas. Ia Hara, pemilik suara itu. Suara lembut yang terdengar manis dan merdu di telingaku. Aku menundukkan kepala dan sebuah lengkungan tipis terbentuk di sudut bibirku. Tidak sulit untuk menebak bahwa aku menyukai Hara. Namun, jika kalian bertanya-tanya apakah Hara menyukaiku juga, aku juga penasaran. Aku belum pernah menyatakan perasaan padanya secara langsung.
Aku menghembuskan napas dan mendadak sendu bila memikirkan tentang Hara. Ia sangat berbeda denganku. Hara sangat ceria dan berwarna. Sedangkan aku, aku bisa bilang bahwa aku cenderung ke hitam, putih, dan abu-abu. Aku hanya bisa sesekali meliriknya yang sedang mengobrol dengan teman sekelasku, Emma, yang merupakan sahabatnya. Aku terlalu takut untuk sekedar menyapa dan mengajaknya mengobrol. Bukan berarti aku tidak berusaha, namun aku berusaha dalam diam. Aku menundukkan kepalaku lagi saat Hara melayangkan pandanganku padanya. Sepertinya ia merasa bahwa aku daritadi terus melirik ke arahnya.
Tepat sebelum Hara sempat untuk mengatakan sesuatu, ia dihentikan oleh bel masuk kelas yang berbunyi. Ia kemudian pamit pada Emma dan kembali ke kelasnya. Aku menghembuskan napas lega, kemudian membereskan alat gambarku.
Sepulang dari sekolah, aku langsung naik ke kamarku di lantai dua dan menghempaskan diri ke kasur. Mataku tertuju pada semua lukisan dan sketsa bunga matahari yang tergantung di papan dinding. Ya, kalian tidak salah baca. Aku memang sudah setahun kebelakang menggambar dan melukis bunga matahari, meskipun aku ingin menjadi arsitek yang akan lebih baik bila aku lebih banyak menggambar bangunan. Aku tetap senang dengan gambar dan sketsa bangunan, namun bunga matahari ini berbeda. Ia bunga kesukaan Hara. Seperti penggemarnya, bunga matahari itu bersinar diantara gambar-gambar bangunan dan gedung yang monoton. Aku menghembuskan napas kemudian bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju papan di atas meja. Aku mengamati salah satu sketsa bunga matahari. Bunga matahari umumnya digambarkan memiliki banyak kelopak, namun tidak dengan semua gambar dan lukisanku yang semua bunga mataharinya kehilangan satu kelopak. Aku tersenyum simpul bila mengingat alasan dibaliknya. Hara, ia pernah mengatakan pada Emma bahwa kalimat kesukaannya adalah 'Ketidaksempurnaan adalah yang membuatmu unik', sungguh kalimat yang cantik, seperti Hara. Seperti Hara juga, yang berkesan untukku, maka akan kuabadikan semua hal yang ia sukai dalam gambar dan lukisan. Semakin kulihat, semakin muncul perasaan sendu dan sedih. Aku terlalu takut untuk mengungkapkan semua pada Hara. Aku takut ia akan menganggapku aneh dan menjauh, atau bahkan membenciku. Aku kembali ke tempat tidur dan merebahkan diri.
Keesokan harinya di sekolah, Hara kembali datang ke kelasku untuk menemui Emma. Aku tetap menunduk menatap buku sketsa sambil memasang telinga baik-baik, penasaran dengan apa yang akan mereka bicarakan. Mataku terbelalak saat Hara mengungkapkan bahwa ada seorang kakak kelas yang menyukainya juga. Hatiku berdegup sangat kencang, aku benar-benar panik, meskipun perkataan Hara selanjutnya cukup membuatku lega. Hara tidak memiliki perasaan yang sama. Tapi tetap saja, aku tidak bisa membiarkan orang lain menarik perhatian Hara. Aku harus memikirkan cara untuk menyatakan perasaanku pada Hara. Kali ini aku sungguh bertekad melawan rasa takut.
Sepanjang sisa pelajaran, aku kurang bisa berkonsentrasi karena memikirkan cara untuk memberitahu Hara. Hal ini berlanjut hingga sepulang sekolah. Sebelum aku naik ke kamarku, ibu memanggilku ke ruang tamu.
"Ada apa bu?" tanyaku penasaran.
"Teman ibu, Tante Lila akan membuka galeri lukisan baru di kota. Ia memintamu untuk memajang salah satu lukisanmu. Kamu mau, 'kan?"
Aku terdiam dan berpikir sejenak. Sebelum aku sempat menjawab, ibu menambahkan "Kamu juga boleh mengundang satu teman, kok."
Aku tersenyum mendengarnya. Sebuah ide terlintas di benakku. Langsung kuiyakan tawaran itu dan ibu memberiku dua undangan untuk datang ke galeri temannya. Aku menerimanya dan langsung naik ke kamarku. Aku sudah tahu cara menyatakan perasaanku pada Hara dan tak 'kan kusia-siakan kesempatan ini.
Aku berangkat pagi-pagi sekali ke sekolah keesokan harinya, karena aku harus menyelipkan undangan pameran dan catatan untuk Hara di lokernya tanpa ketahuan orang lain. Setelah menyelipkan undangan dan catatan untuknya, aku langsung pergi ke kelas. Aku tersenyum bak orang bodoh di sepanjang koridor. Sepanjang pelajaran berlangsung, aku berharap dengan cemas, karena bisa jadi Hara tidak tertarik dan membuangnya. Aku menggelengkan kepala, berusaha menepis setiap pikiran buruk yang datang.