Mohon tunggu...
Sukardi Gau
Sukardi Gau Mohon Tunggu... Swasta -

Masih tahap pembaca, pernah belajar di Institute of the Malay World and Civilization, Universiti Kebangsaan Malaysia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahasa Suwawa dan Ambang Kepunahan*

8 Desember 2014   22:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:46 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa bulan belakangan ini, saya berkali-kali mengunjungi beberapa desa dan kampung di Suwawa Timur dan Suwawa Tengah. Selain menikmati segarnya udara Suwawa, aktivitas saya di kedua wilayah itu semata-mata untuk melihat danmemahami profil penggunaan bahasa Suwawa oleh penuturnya. Hal ini saya lakukan karena sebelumnya terdengar 'kegalauan' dari sejumlah kalangan mengenai fenomena memudarnya penggunaan bahasa Suwawa oleh penuturnya sendiri.

Meskipun ini masih kajian awal tetapi saya telah melihat beberapa fenomena menarik di sana. Misalnya, seorang ibu yang berprofesi sebagai guru bercerita bahwa ketika masa kecil dahulu, dia sudah dididik dalam bahasa ibunda mereka (bahasa Suwawa) di rumah sehari-hari sebelum masuk sekolah dasar. Bahasa Indonesia dikenalnya setelah masuk SD di awal tahun 1970-an. Bahkan, bahasa Indonesia baru dia pahami secara baik ketika menempuh pendidikan SMP di Kabila. Itu artinya bahwa bahasa ibunda Sang Guru (bahasa yang pertama kali ia kenal) adalah bahasa Suwawa. Adapun bahasa keduanya adalah bahasa Indonesia atau dialek Melayu Gorontalo.

Saya melihat bahwa apa yang diceritakan oleh Bu Guru tersebut rupanya sudah sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Dari segi pemerolehan bahasa, situasi kebahasaan sekarang sungguh sudah jauh berbeda dengan keadaan di era tahun 1970-an hingga awal 1980-an. Jika dulunya bahasa Suwawa adalah bahasa Ibunda bagi kebanyakan anak Suwawa, kini bahasa Suwawa adalah bahasa kedua generasi sekarang. Dengan kasat mata, bahasa nasional telah menggeser bahasa Suwawa sebagai bahasa Ibunda. Singkatnya,anak Suwawa sekarang, bahasa yang dipelajari dan digunakannya pertama kali sejak dilahirkan adalah bahasa Indonesia sedangkan bahasa Suwawa adalah bahasa yang mereka pelajari setelahnya.

Pada tahap ini, tentu saja situasi seperti ini masih bagus sebab penguasaan dan pengetahuan mereka tentang bahasa Suwawa masih terjaga baik. Mereka tumbuh secara bilingual. Yang mengkhawatirkan memang adalah rupanya tidak semua anak Suwawa sekarang masih dapat memahami bahasanya secara baik. Catatan laporan saya di lapangan pun memang menunjukkan situasi kebahasaannya seperti itu. Banyak anak tidak tahu-menahu bahasa Suwawa sama sekali meskipun kedua orang tuanya adalah orang Suwawa.

Fenomena ini tentu saja menarik dikaji lebih jauh, termasuk bagaimana sikap bahasa para penutur bahasa ini. Meskipun demikian, beberapa hal lain mungkin saja dapat dipertimbangkan dalam kasus seperti ini. Misalnya, apakah bahasa Suwawa tidak diajarkan lagi di ranah keluarga atau memang tidak digunakan lagi di ranah sosial. Belum lagi, pelajaran muatan lokal di sekolah mungkin juga dianggap belum mampu mengisi ruang kebahasaan itu. Oleh karena itu, penggunaan bahasa dalam ranah sosial, keluarga, dan pendidikan tidak bisa diabaikan begitu saja. Kesemua ranah itu sesungguhnya sangat berperan dalam hidup-matinya bahasa ini.

Isu paling krusial selanjutnya adalah persoalan jumlah penutur bahasa Suwawa. Saya cukup terkaget-kaget setelah membaca beberapa laporan mengenai jumlah penutur bahasa Suwawa. Dalam ruang terbatas ini, cukuplah dua laporan yang disebutkan. Laporan pertama adalah karya disertasi Alm. Prof. Hunggu Tadjuddin Usup (Universitas Indonesia, 1986) yang menyebutkan jumlah penutur bahasa Suwawa pada tahun 1984 sebanyak 15 ribu orang. Para penutur bahasa ini tersebar di wilayah Kecamatan Suwawa dan Pinogu, serta beberapa desa di wilayah Bone Pantai. Tidak ada perbedaan dialektal meskipun penuturnya bermukim di wilayah yang berbeda.

Laporan kedua berikutnya adalah data yang dirilis oleh SIL International dalam Ethnologue (2014). Data tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 2012 populasi penutur bahasa Suwawa tinggal 5 ribu orang saja. Ya, tinggal 5 ribu orang saja! Maknanya, hanya berselang 30 tahun jumlah penutur bahasa Suwawa telah berkurang sekitar 67 persen. Angka ini menunjukkan terjadinya penurunan jumlah penutur yang sangat drastis dan fantastis. Anehnya, pertambahan jumlah penduduk Suwawa nyatanya tidak dibarengi dengan pertambahan jumlah penutur bahasanya.

Bahkan, jika kita mencermati laporan Ethnologue tersebut diketahui bahwa posisi dan status bahasa Suwawa saat ini termasuk dalam peringkat 7 dari 10 peringkat bahasa-bahasa terancam punah (lihat www.ethnologue.com). Artinya, jika bahasa ini menanjak 3 peringkat lagi, bahasa ini akan masuk dalam kategori bahasa yang punah (Endangered Languages). Dari data itu saja, kita dapat membayangkan begitu kompleksnya permasalahan bahasa Suwawa di masa depan.

Satu catatan penting dan masalah krusial yang dihadapi penutur bahasa Suwawa saat ini adalah perubahan sikap penutur dan terbatasnya ruang pewarisan bahasa Suwawa antargenerasi. Bahasa Suwawa tidak lagi sebagai alat interaksi sosial intraetnik yang multifungsi maupun sebagai wahana komunikasi sosial antargenerasi. Kita berharap bahwa bagaimana pun dahsyatnya perubahan sosial dan lajunya perkembangan pengetahuan dan teknologi, serta tersedianya transportasi yang memadai sejatinya tidak menjadikan bahasa ini menjadi 'kerdil'. Kerdil dalam wawasan imajinasi kebahasaan kolektif dan kerdil dalam praktik tuturan kolektif.

Bagi saya, satu-satunya yang dapat menyelamatkan bahasa Suwawa di ambang kepunahan adalah tuturan lisan. Tuturan lisan inilah yang harus ditumbuhkembangkan secara masif dengan melibatkan semua generasi orang Suwawa, tua dan muda. Bahasa tulisan sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah atau segala retorika dan imbauan pemerintah tentang pelestarian bahasa daerah memanglah penting, tetapi ketahuilah semua itu tidak akan bermanfaat sama sekali tanpa diikuti praktik tuturan. Sekali lagi, asas bahasa adalah tuturan. Jika demikian halnya, apabila kita masih punya mimpi-mimpi melestarikan bahasa ini di masa depan, tuturkanlah bahasa ini mulai hari ini juga. Wagu Ja ita, do tiana ...? Wallahu alam.

*Gorontalo Post, 5 Desember 2014 (Kolom Persepsi, hlm. 5)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun