[caption id="attachment_269702" align="aligncenter" width="670" caption="Ilustrasi (coretanridwan.blogspot.com)"][/caption]
SETIDAKNYA ada dua jargon yang sangat terkenal di Indonesia, dan biasa dipraktekkan masyarakatnya. Jargon yang pertama: Kalau bisa gratis kenapa harus bayar?". Dan yang kedua: Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?"
Jargon kedua ini kelihatannya bakal berlaku di Kompasiana.
Semua berawal dari ditahbiskannya sebuah tulisan menjadi HL. Belakangan, entah karena alasan apa, si penulis melakukan editing total sehingga substansi tulisannya juga berubah total. Karena sudah diedit, secara kualitas tulisannya tak layak lagi masuk HL.
Rupanya, ada pihak yang kemudian mengkritisi para admin: Tulisan seperti itu kok masuk HL?
Belakangan, kang Pepih membuat tulisan yang intinya menyatakan tidak etis sebuah tulisan yang masuk HL lalu diedit. Pertimbangan etis-tidaknya sebenarnya lebih karena admin dirugikan. Sebagai jalan keluar, pihak admin berencana mengunci semua tulisan yang didaulat masuk HL. Artinya, tulisan yang terpilih masuk HL tak bisa diedit seenaknya oleh si penulis. Jika penulis ingin mengedit, harus menghubungi admin terlebih dahulu.
Dalam komentar di tulisan kang Pepih saya bilang, sebenarnya solusi untuk hal seperti itu sangat sederhana. Jika ada tulisan yang masuk HL dan kemudian diedit penulisnya sehingga secara substansi kualitasnya tak layak, admin tinggal menggantinya dengan tulisan yang lain. Habis perkara. Dan simpel.
Tapi rupanya, pihak admin enggan melakukan hal simpel itu dan memilih langkah yang lebih rumit. Yakni mengunci tulisan. Saya tak paham soal kunci mengunci tulisan tapi pasti ada kode khusus yang diselipkan. Mungkin juga software. Jadi, pada setiap tulisan yang terpilih masuk HL, admin akan menyelipkan kodenya.
Jika si penulis A yang tulisannya terpampang di HL ingin mengedit, dia harus menghubungi admin (mungkin via inbox). Admin lalu membuka kunci, dan menghubungi penulis bahwa editing bisa dilakukan. Jika editing selesai, penulis menghubungi admin (lagi), dan admin mengunci tulisan.
Langkah yang sama dilakukan jika penulis B yang tulisannya masuk HL juga ingin mengedit. Si B menghubungi admin, admin membuka kunci, admin balas menghubungi B, B usai mengedit kemudian menginformasikan bahwa tulisan siap dikunci, dan admin kembali mengunci.
Bagaimana jika penulis C dan D juga melakukan hal yang sama? Kerepotan yang sama akan terulang.
Yang membuat saya takjub adalah, banyak teman-teman yang setuju dengan metode kunci ini. Yang setuju dengan segala kerepotan dan keribetan yang bakal muncul!!
Tapi yah, begitulah Indonesia. Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah ya? Hehehehe
Itu soal keribetan yang bakal muncul. Belum lagi implikasi lain. Misalnya implikasi hukum. Kompasiana secara tegas menyatakan bahwa semua tulisan yang dimuat merupakan tanggungjawab penulisnya. Bahwa Kompasiana tak bertanggungjawab pada validitas dan akurasi sebuah tulisan. Bagaimana Kompasiana bisa lepas tangan sementara di saat yang sama mempersulit upaya penulis untuk memperbaiki tulisan?
Dalam komentar, kang Pepih mengatakan penghapusan tulisan yang masuk HL akan merugikan admin dan pembaca. Itu betul. Namun bagaimana dari sisi penulis? Bagaimana jika yang berpotensi dirugikan adalah si penulis? Kenapa yang dipikirkan hanya kepentingan admin dan sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan penulis?
Kasus tulisan yang dipermasalahkan itu, menurut saya, menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Bagi Kompasianer, untuk lebih berhati-hati dan akurat jika menyajikan tulisan yang ada kaitan langsung maupun tak langsung dengan pihak lain. Terutama jika berbicara tentang penyelewengan.
Bagi admin, juga menjadi pelajaran berharga untuk lebih teliti, terutama ketika menambahkan judul baru.
Khusus menyangkut rencana penguncian tulisan yang menjadi HL, jika benar-benar akan diwujudkan, berarti kita memang lebih suka mempersulit sesuatu yang sebenarnya mudah, hehehe
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI