Mohon tunggu...
suherman agustinus
suherman agustinus Mohon Tunggu... Guru - Dum Spiro Spero

Menulis sama dengan merawat nalar. Dengan menulis nalar anda akan tetap bekerja maksimal.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Covid-19, Lemahnya SDM dan Ketakpatuhan Pejabat Publik

6 Februari 2021   17:33 Diperbarui: 6 Februari 2021   17:39 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi Covid-19 masih mengancam kehidupan umat manusia di banyak negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Berdasarkan data Satgas yang dimuat di kompas.com, per 6 Februari 2021, jumlah kasus di Indonesia saat ini, yakni 1.147.010 kasus. Rinciannya sebagai berikut: kasus sembuh 939.184 dan kasus meninggal 31. 393. Data ini menunjukkan bahwa negara kita tak mampu memerangi musuh tak kasat mata namun berbahaya yang disebut Covid-19.

Padahal, sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dalam rangka memutuskan rantai penyebaran virus tersebut. Sebut saja misalnya, PSBB, New Normal, penerapan 3 M dan 3 T, vaksinasi, PPKM dan kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat selama kurang lebih 11 bulan pandemi ini merebak di Indonesia.

Lantas, kita masih bertanya: mengapa pandemi ini belum juga berakhir? Ya, salah satu masalah utamanya adalah karena lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Bayangkan, 270 juta penduduk di negeri ini memiliki cara pandang yang berbeda-beda terhadap Covid-19.

Bahkan, parahnya hingga hari ini, masih banyak masyarakat yang percaya pada teori konspirasi. 1,2 juta doksin vaksin Sinovac buatan China yang didatangkan ke Indonesia pada Desember 2020 lalu semakin memperkuat dugaan masyarakat terhadap teori konspirasi ala China ini. Apalagi pandemi ini muncul pertama kali di Wuhan-China dan ketika menguatnya perang dagang antara kedua negara penguasa ekonomi dunia, China dan Amerika.

Mereka yang percaya pada teori konspirasi ini akhirnya bersikap apatis terhadap pelbagai kebijakan dari pemerintah. Mereka malas menjaga jarak. Tak mau memakai masker. Enggan dan tak terbiasa mencuci tangan. Juga tak sudi divaksin.

Mereka lebih percaya pada Tuhan daripada percaya pada anjuran dari pemerintah. Dan bahkan dengan lantang, mereka mengatakan bahwa Covid-19 sebenarnya tipuan belaka. Padahal realitanya, begitu banyak orang yang tersiksa-menderita dan bahkan mati secara tragis karena serangan virus tersebut.

Simpang Siurnya Informasi

Banyak informasi yang simpang siur di media masa dan media sosial sangat berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat dalam upaya memutuskan rantai penyebaran virus corona. Informasi-informasi yang benar dan tak benar datang silih berganti. Berita-berita hoax alias bohong diciptakan secara sengaja, terencana, sistematis dan masif dibagikan untuk mengacaukan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Informasi-informasi tersebut ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Apalagi berhadapan dengan masyarakat yang kurang literasi alias tak mau bersusah payah mencari sumber-sumber terpercaya terkait informasi apapapun yang berseliweran di media-media sosial. Yang terpenting menurut mereka bahwa pemerintah tidak boleh tidak, tetap menelontorkan bantuan sosial kepada masyarakat sampai pandemi ini berakhir.

Pejabat Publik Tak Patuh

Penyebab lain, mengapa pandemi belum berakhir, yakni ketakpatuhan pejabat publik pada peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri. Sebut saja misalnya, Gubernur DKI, Anies Baswedan yang justru bertemu bertemu Riziek Syihab saat sedang berlakunya PSBB DKI pada November lalu. Atau contoh lain, Gubernur NTB, Zulkieflimasyah yang minggu lalu berenang dengan beberapa pejabat setempat di tengah pandemi yang masih merebak di seluruh peslosok tanah air.

Dua contoh tersebut tentu membingungkan masyarakat. Sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan berikut. Mengapa pejabat publik yang dengan lantang dan bahkan memaksa masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan malah tidak patuh?

Pejabat yang harusnya menjadi sumber informasi yang akurat kok malah bersilang pendapat dalam memberantas pandemi yang sama? Bagaimana dan pada siapa lagi masyarakat harus mengadu? Banyak rumah sakit yang kekurangan ruang perawatan pasien Covid, kenapa pejabat-pejabat malah sibuk memikirkan Pilpres 2024?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut berangkat dari fakta empirik. Bahwasannya, bukan hanya masyarakat akar rumpur yang tak patuh. Akan tetapi, banyak juga pejabat publik yang tak patuh di masa pandemi ini. Mereka menyarankan masyarakat untuk mematuhi peraturan pemerintah terkait pemakaian protokol kesehatan, namun mereka sendiri tak memakainya. Belum lagi soal pejabat-pejabat di likaran istana negara  yang beberapa hari terakhir malah sibuk membicarakan Pilpres 2024 daripada membantu Jokowi memecahkan masalah kekurangan ruang perawatan pasien Covid di banyak rumah sakit.

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko misalnya, yang diduga sedang menggalangkan kekuatan untuk melengserkan Agus Harimurti Yudhono dari kursi Ketua Parta Demokrat. Tujuannya adalah untuk kepentingan Pilpres 2024.

Fakta tersebut semakin meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. Masyarakat menilai bahwa pemerintah tidak solid dalam mengusir pandemi Covid-19 dari negeri ini. Pemerintah malah sibuk memikirkan kepentingan pribadi dan partai daripada memikirkan keselamatan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun