Mohon tunggu...
Suhendrik Nur
Suhendrik Nur Mohon Tunggu... Freelancer - Manusa biasa yang tak berharap apa-apa

Bergerak di literasi jalanan (Perpustakaan Jalanan) Bambu Pena Indramayu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Katakan Tidak Pada Buku Bajakan!

5 Mei 2022   08:30 Diperbarui: 5 Mei 2022   08:31 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum kalian membaca tulisan ini, saya tekankan terlebih dahulu mengikuti dawuh guru kepenulisan saya kang Riam Kata, bahwa menulislah dengan gaya suka-suka mu, tak peduli bagus atau tidak, setidaknya tulislah segala keluh-kesah mu. Maka jadilah tulisan ini dengan gaya kepenulisan suka-suka saya, hehehehehe....

Sebenarnya banyak sekali unek-unek dikepala saya mengenai pembajakan, entah tentang buku, film, musik,dsb. Belakangan ini sedang ramai diperbincangkan dalam dunia medsos ialah mengenai status salah satu akun Facebook penulis ternama Indonesia yaitu Tere Liye. Dalam tulisanya di akun Facebooknya tersebut, Tere Liye sudah sejak lama mengkampanyekan gerakan anti buku bajakan, dimana menurut beliau dan para penulis lainya itu sangat merugikan Penulis dan Penerbit. Dalam tulisan tersebut beliau menggunakan diksi Goblok yang dimana beliau sandarkan kepada para penikmat buku bajakan itu. Sontak medsos menjadi heboh dengan pernyataan itu, dan ternyata memang benar masyarakat Indonesia ini menurut saya (dalam hal ini penulis) semakin yakin bahwa belum merdekannya dalam ketersinggungan.

Alasan Tere Liye menggunakan diksi ini sebenarnya sangat masuk akal dan juga bagi saya sangat tepat. Katanya; sebenarnya perang terhadap pembajak ini terjadi dari tahun 1980, dan dari masa tersebut sudah terlalu sering kita menggunakan azaz sopan santun namun ternyata tidak mengubah apapun, bahkan di zaman sekarang yang dimana ecomers sangat menjamur, membuat pasaran buku bajakan ini semakin tumbuh subur menjamur. Jadi lebih baik sekarang kita menyindirnya dengan terang-terangan saja dong?. Bukan hanya berdasarkan itu saja penggunaan diksi ini disandangkan kepada para penikmat buku bajakan, karena sekarang pun Perpustakan Nasional telah menyediakan platform digital dimana kita dapat meminjam buku secara gratis, dan jika kita ingin yang bentuk fisik pun, sebenarnya jika kita main-main ke perpustakan yang dikelolah oleh Negara juga dapat kita pinjam. Tak perlu susah payah mengeluarkan uang untuk membeli buku versi bajakan, toh jika kita ingin tetap membeli, mengapa tidak mencari ke toko buku bekas?, disana banyak buku-buku second yang berkualitas dan tentunya asli bukan bajakan. 

Coba sesekali kita sebagai penggiat literasi melihat perjuangan sang penulis dalam membukukan karyanya, saya akan ceritakan sedikit beberapa keluh-kesah teman-teman saya ketika mereka membukukan karyanya, sekaligus saya akan berikan analogi sederhana mengenai si pembajak ini.

Sebut saja si A sedang menulis buku novel yang bertemakan Romance. Dituangkan segala ide-ide cerita yang ada dikepalnya bahkan tak peduli siang atau malam berkutat saja dia didepan media tulisnya, entah laptop, handphone, atau bahkan masih dengan gaya classic nulis pada buku catatanya. Terkadang terhenti satu atau dua hari lantaran ide yang dikepalanya sedang mandek, jadi tak heran jika banyak penulis juga yang menyelesaikan bukunya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ketika semuanya sudah rampung, belum tentu juga karyanya bisa langsung dibukukan. Bagi penulis baru itu adalah cobaan kedua setelah dia berhasil menyelesaikan bukunya, selepas rampung tulisanya baru dia tawarkan kepada beberapa penerbit, tak jarang pula penerbit menolak untuk mencetak karyanya itu. Mungkin jika si penulis memeliki tabungan lebih bisa menggunakan jasa penerbit indie yang seluruh biaya cetak bisa ditanggung sendiri hingga untuk pemasaranya, namun jika tidak?, ya terpaksa ia akan terus menjajahkan tulisanya kepada penerbit-penerbit di Indonesia. Ketika karyanya berhasil dibukukan maka tidak akan salah jika si penulis menaruh harapan besar mengenai royalty dari karyanya itu.

Disinilah blunder akan terjadi, antara penulis dan penerbit melawan pembajak, saya akan menceritakan sudut pandang saya dari kacamata si pembajak. Dan bagaimana sistem yang mereka gunaka, sebelum melangkah kesitu saya akan menggaris bawahi terlebih dahulu, bahwa ini masih spekulasi saya jika saya menjadi pembajak dan berusaha untuk mengikuti pola pikir mereka.

Ketika buku itu sudah ada dipasaran, maka dibelilah satu buah buku tersebut oleh si pembajak. Bukan,,, bukan untuk dibaca, namun hanya sebagai satu langkah untuk pembajakan. Mereka akan melihat pasaran terlebih dahulu sambil mereka menghitung-hitung berapa biaya produksi dan keuntungan yang bisa mereka raup. Jaga-jaga jika best seller maka dengan segera tanpa pikir panjang langsung masuk dalam list produksi dan akan di jual jauh lebih murah dari harga aslinya, toh isinya masih sama hanya berbeda dikualitas kertas dan cover.

Dan boom....

Benar saja buku tersebut laku dipasaran bahkan sudah menjadi best seller sesuai dengan harapan penulis, penerbit, dan pembajak. Tanpa pikir panjang lagi dan sesuai dengan perhitungan awal ketika ia pertama kali membeli buku itu langsung saja tanpa menunggu waktu lama pembajak mengikuti euphoria laris manisnya buku itu dipasaran, ditambah dengan harga yang mereka tawarkan jauh begitu jompalng dengan harga aslinya. Kalian tau tidak?, Pundi-pundi keuntungan dari penjualan buku bajakan itu lari kemana?, sudah tak perlu berpikir keras, jawaban sudah pasti dong?, seluruh royalty keuntungan itu masuk ke kantung si bos pembajak. Akhirnya timbul lagi dong satu pertanyaan, Penulis dan Penerbit aslinya memperoleh apa?, jawabanya tak kalah simple jua, penerbit hanya bisa gigit jari, dan penulis hanya meperoleh fams semata. Perlu digaris bawahi lagi ya,, hanya Fams/ terkenal saja, Royalti dan sebagainya TIDAK ADA!!!. Mangkanya jangan heran jika banyak penulis selalu berkata dalam seminar-seminar yang mengundang mereka bahwa rezeki penulis itu pas-pasan tidak bisa dibanggakan kecuali karya-karyanya. 

Point of view dari tulisan kali ini sebenarnya pada gerakan stop membeli buku bajakan, saya sendiri pun sedang menanamkan dalam diri untuk tidak membeli buku bajakan khususnya untuk karya penulis asli Indonesia, kenapa? Karena saya sendiri pun merasakan bagaimana pahit dan manisnya perjuangan dalam hal menulis. Walapun saya menyadari banyak buku koleksi saya yang masih merupakan buku bajakan, baik secara fisik maupun non fisik/digital, namun semenjak tahun 2018 ketika saya mulai bekerja saya usahakan untuk membeli buku asli namun masih kelas buku-buku karya penulis Indonesia. Serta juga dalam komunitas literasi dimana tempat saya berkhitmat sekarang dalam perpustakaan jalanannya masih banyak saya temukan buku-buku bajakan, walapun saya sadari juga hampir 80% koleksi buku kami ini adalah lungsuran dari berbagai kalangan donator yang bersedia menyumbangkan koleksi buku-buku mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun