Belajar dari Irlandia: Ketika Tanah Suci Bebas Pajak, Sawah Rakyat DipajakiÂ
Oleh Dr.-Ing. Â Suhendra (Pemerhati Sosial, Ekonomi dan Teknologi Eropa)
Bila ingin tidak ditarik pajak, maka perlu belajar dari Irlandia. Tinggal pasang tulisan di tanah tersebut: "Silahkan berdoa di sini". Maka petugas enggan menarik pajaknya.
Di sebuah sudut Dublin, Irlandia, berdiri sebuah pub tua dengan papan nama pudar dan jendela tertutup papan kayu. Dulu, tempat itu riuh oleh tawa dan gelas-gelas yang berdenting.
Kini, sepi. Di pintu belakangnya, selembar kertas kusam ditempel seadanya: "Silakan mengadakan ibadah pribadi di sini." Kalimat sederhana itu bukan undangan rohani yang tulus---tetapi kunci pembuka celah hukum.
Dengan status "tempat ibadah," bangunan itu bebas pajak. Anggur yang dulu dijual di meja bar kini, secara ajaib, berubah menjadi "air suci." Air yang akan digunakan pembersih untuk beribadah atau seperti wudhu di dalam ajaran agama Islam.
Irlandia memang negeri paradoks. Tanahnya sebnarnya selalu basah, tapi sebagian wilayah kekurangan air. Di tengah kota ada ribuan tunawisma, padahal puluhan ribu rumah dibiarkan kosong. Dan, seperti awal tulisan, yang paling ironis adalah di negeri ini dan di Inggris, pemilik properti bisa menghindari pajak hanya dengan mengklaim bangunannya sebagai rumah ibadah.
Investigasi mengungkap ada 370 properti di Inggris yang didaftarkan sebagai "tempat ibadah aman dan terbuka untuk semua agama"---mulai dari toko mungil, gedung perkantoran, hingga gudang besar.
Dari skema itu, sekitar 240 juta pound per tahun yang seharusnya mengalir ke kas daerah justru masuk ke kantong Faithful Global---organisasi lintas agama yang menjadi perantara---dan para pemilik properti klien mereka. Padahal, pajak usaha menyumbang 25 miliar pound per tahun bagi pemerintah lokal.
Namun selama bangunan diklaim untuk kegiatan keagamaan, petugas pajak enggan menagih. Alasannya sederhana: memungut pajak dari ruang tempat orang berdoa dianggap sama saja seperti memungut pajak dari Tuhan.
Kisah dari Eropa ini mungkin terasa jauh, tapi gema sarkasmenya kini terdengar di Pati, Jawa Tengah. Di sana, protes warga memuncak setelah pemerintah daerah mengumumkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 200 persen.
Dari desa ke desa, warga berbondong-bondong ke kantor kecamatan dan DPRD, membawa spanduk, poster, bahkan surat keberatan. Bagi petani, pedagang kecil, dan pensiunan, lonjakan pajak sebesar itu bukan sekadar angka di kertas---tetapi ancaman langsung terhadap dapur rumah tangga.
Mengapa orang begitu sensitif terhadap kenaikan pajak? Karena pajak adalah uang yang diambil dari hasil kerja keras mereka. Ketika penghasilan tak naik atau malah menurun, sementara beban pajak melonjak, rasa ketidakadilan pun muncul. Warga tahu, pajak seharusnya kembali dalam bentuk pelayanan publik yang nyata---jalan diperbaiki, air bersih tersedia, fasilitas kesehatan memadai. Jika semua itu tak kunjung dirasakan, wajar bila pajak dianggap beban yang tak sepadan dengan manfaatnya.
Lalu siapa sebenarnya pemilik tanah mayoritas di Pati dan di Indonesia? Apakah mayoritas rakyat kecil, atau segelintir korporasi dan pemodal besar? Pertanyaan ini penting, sebab pajak tanah dan bangunan sering kali menekan yang lemah, sementara yang kuat punya seribu cara untuk menghindar.
Maka, seperti di Irlandia, muncul pula candaan getir di Pati: "Tuhan tidak bayar pajak, kenapa kita harus?" Sebagian warga bahkan berkelakar, setiap tanah dan bangunan sebaiknya dipasangi papan bertuliskan "Silakan duduk dan berdoa di sini." Haruskah di Pati dan semua tanah di Indonesia dituliskan: "Silakan sholat di tanah ini!" agar bebas pajak?
Gurauan ini mungkin sarkas, tapi mencerminkan frustrasi terhadap kebijakan yang dirasa tak peka terhadap keadaan rakyat kecil. Apalagi, timbul kecurigaan bahwa sebagian besar tanah produktif di Pati---dan di Indonesia umumnya---dikuasai segelintir pemilik besar.
Kebijakan pajak yang naik merata sering kali menekan pemilik kecil lebih berat dibanding mereka yang punya modal, jaringan, dan cara untuk menghindari beban tersebut.
Pada akhirnya, pajak adalah instrumen penting bagi pembangunan dan kesejahteraan. Tapi kesejahteraan bukan angka di APBD---melainkan rasa aman, adil, dan layak hidup. Pajak tanpa rasa keadilan hanya akan menjadi beban, sementara pajak yang dikelola bijak dan transparan akan menjadi investasi sosial yang membuat rakyat bangga membayarnya.
Agar tidak menggelindingkan isu sensitif di tengah ekonomi sulit, maka isu kenaikan pajak harus ditangani bijak. Transparansi, kepekaan, insentif ekonomi rakyat kecil dan sebagainya perlu diperhatikan.
Pada akhirnya, pajak seharusnya menjadi alat membangun kesejahteraan bersama, bukan sekadar mesin penarik dana yang memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI