Tantangan Kualitas Ikan di Tengah Program Makan Bergizi Gratis
Oleh: Dr.-Ing. Suhendra
Akhirnya, seperti janji Bapak Presiden saat kampanye tahun 2024 lalu, akhirnya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan dimulai pada 2 Januari 2025 di seluruh Indonesia. Program MBG ini menyasar berbagai kelompok, termasuk anak-anak usia dini (PAUD), siswa SD hingga SMA/SMK, serta ibu hamil dan menyusui. Pelaksanaan program akan dilakukan secara bertahap, dimulai dengan 932 titik layanan.
Salah satu perhatian dari pemerintah adalah suplai iIkan air tawar selama ini menjadi andalan bagi masyarakat Indonesia sebagai sumber protein hewani yang terjangkau. Selain itu, ikan seperti nila dan lele juga sering masuk dalam program gizi nasional untuk mendukung peningkatan kualitas asupan makanan masyarakat. Dalam kunjungannya ke Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) tanggal 2 Desember 2024 di Karawang, Presiden Prabowo Subianto menegaskan pentingnya meningkatkan produksi perikanan air tawar untuk mendukung Program.
Namun demikian, langkah bijak ini juga perlu diiringi dengan kesadaran akan berbagai tantangan menjaga  kualitas yang bisa memengaruhi keamanan pangan, khususnya kualitas ikan. Ide ini tidaklah berlebihan, karena trend global telah mencermati tantangan kualitas ikan yang dipengaruhi oleh pencemaran lingkungan dan praktik budidaya.Â
Seperti halnya hasil penelitian tim gabungan ITS Surabaya, Unsoed Purwokerto dan Universitas Vienna Austria, di dalam tulisannya Aunurohim et al. (2024), Environmental Advances, Volume 17 (2024), mengungkapkan bahwa mikroplastik ditemukan pada daging dan saluran pencernaan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dibudidayakan di keramba jaring apung.Â
Penelitian tersebut, yang dilakukan di Danau Ranu Grati, Pasuruan, Jawa Timur, menemukan hingga 576 partikel mikroplastik pada daging ikan dan dan 724 partikel mikroplastik di saluran pencernaan ikan. Kecurigaan para peneliti sumber cemaran antara lain dari air yang telah tercemar dan bahan-bahan material tempat budidaya seperti plastik fiber. Kaenanya, penemuan ini mencerminkan potensi risiko kesehatan bagi manusia yang mengonsumsi ikan tersebut.
Mikroplastik, yang berasal dari limbah domestik dan industri, kini menjadi ancaman serius bagi ekosistem perairan. Pada penelitian  Mikroplastik di daging ikan didominasi oleh serat berwarna biru dengan ukuran 101--250 m, berbahan dasar poliamida (PA). Karenanya, hasil ini menjadi perhatian serius potensi bahaya jalur masuk mikroplastik ke tubuh manusia. Hal ini karena mikroplastik pada ikan bila dikonsumsi manusia dapat terakumulasi di dalam tubuh manusia.
Selain mikroplastik, ikan air tawar juga berisiko terkontaminasi bahan kimia berbahaya seperti pestisida dan logam berat. Limbah pertanian dan industri sering kali mencemari air sungai dan waduk, tempat sebagian besar ikan air tawar dibudidayakan. Kontaminasi ini tidak hanya memengaruhi kualitas ikan tetapi juga membahayakan kesehatan konsumen.
Di tengah upaya pemerintah meningkatkan produksi perikanan untuk mendukung program gizi, langkah-langkah pengawasan kualitas perlu ditingkatkan. Tidak hanya memastikan bahwa ikan memenuhi standar keamanan pangan, tetapi juga menjamin bahwa proses budidaya dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan inovasi dalam sistem budidaya perikanan. Teknologi seperti biofilter untuk membersihkan air budidaya dan penggunaan pakan berkualitas tinggi yang ramah lingkungan dapat membantu mengurangi risiko kontaminasi.Â
Selain itu, pengembangan alternatif sumber omega-3 seperti minyak alga juga bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada ikan yang berisiko tercemar.Â
Contoh alternatif sumber omega-3 adalah yang dilakukan oleh tim Teknologi Bioproses Teknik Kimia Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta (Suhendra, 2024, https://www.youtube.com/watch?v=SrkJ65lYCJY dan https://www.youtube.com/watch?v=TKJsvTtWneA&t=97s). Tim tersebut terinspirasi proyek produksi omega-3 dari mikroalga laut oleh Evonik, Jerman dan DSM, Belanda dengan nilai investasi awal tahun 2017 lalu sekitar 200 juta Euro (sekitar 3 triliun rupiah).
Dukungan pemerintah dalam hal ini sangat penting. Penguatan regulasi terhadap praktik budidaya, pengawasan mutu, dan edukasi kepada petani ikan dapat menjadi langkah awal.Â
Di sisi lain, konsumen juga perlu lebih cermat dalam memilih produk perikanan, memastikan asal-usul ikan, dan mendukung program yang mendukung keberlanjutan ekosistem.
Kualitas ikan air tawar perlu menjadi perhatian utama di tengah program pemerintah untuk meningkatkan gizi masyarakat. Dengan langkah-langkah pengawasan yang ketat dan inovasi dalam budidaya, kita dapat memastikan bahwa ikan tetap menjadi sumber gizi yang aman dan berkualitas bagi generasi mendatang.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI