Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

WNI Digusur dari Jakarta Jelang Pemilu 2024

14 Mei 2023   06:32 Diperbarui: 14 Mei 2023   06:39 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

NIK Warga Jakarta Digusur

Pemerintah Daerah (PEMDA) Provinsi DKI Jakarta sedang melakukan persiapan untuk menggusur Warga Jakarta. Pemerintah Kota di Provinsi Jakarta sedang melakukan pendataan melalui RT/RW atas keberadaan warga dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Jakarta yang tidak tinggal di Jakarta atau yang hanya numpang alamat di keluarganya yang menetap di Jakarta. 

Kebijakan tersebut menjadi semacam validasi dan memang menjadi model baru dalam  praktek penggusuran sebagaimana sering kita jumpai di tanah air. Validasi NIK melalui pendekatan, apakah seseorang atau suatu keluarga bermukim di Jakarta dalam rangka tertib administrasi memang diperlukan. Akan tetapi, pengusiran atas nama administrasi kependudukan yang merampas hak warga secara sepihak, apalagi bila dilakukan dengan maksud lain daripada tertib administrasi selayaknya ditinjau kembali.

Sebagaimana diketahui bersama, bila ada NIK Jakarta tetapi yang bersangkutan tidak tinggal di Jakarta, maka NIK akan di non aktifkan, agar yang bersangkutan mengurus Surat Pindah sesuai domisili pemilik NIK. Praktek ini yang kemudian menjadi model baru untuk melakukan penggusuran warga. Sebab dengan pindah dokumen maka segudang urusan akan mengikuti surat pindah tersebut, termasuk biaya untuk mengurusnya.

Pemda DKI Jakarta menjelaskan dalam beberapa kesempatan bahwa NIK yang akan di non aktifkan tidak akan berubah, walaupun sudah berpindah alamat atau berganti KTP dan KK. 

Hal itu bisa dilakukan karena NIK adalah 16 digit angka unik yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia yang ada pada KTP elektronik. 16 dikit angka tersebut merupakan rangkaian angka yang mengandung Kode Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Tanggal lahir, Bulan lahir, Tahun lahir, dan Nomor urut di Kecamatan yang mempunyai tanggal lahir sama.  


Prof. Dr. Zudah Arif Fakrulloh, SH., MH menjelaskan bahwa “seseorang yang pindah kemana pun NIK-nya tetap sama, walaupun alamatnya berubah. Perubahan alamat dan perubahan elemen data lain harus dilaporkan ke Dukcapil setempat.” Sementara ketentuan mengenai NIK diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 1 ayat 12 menyebutkan bahwa NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. 

Artinya, NIK yang terdapat disetiap KTP elektronik adalah identitas yang unik, tunggal, dan tidak berubah seumur hidup. Namun demikian, penonaktifan NIK sebagai dasar untuk memaksa warga pindah merupakan praktek lain dari pengusiran warga. Dan pada realitasnya telah terjadi pengabaian hak warga negara dan kelalaian negara dalam menjalankan kewajibannya untuk melindungi warganya.

Kebijakan untuk menonaktifkan NIK yang disertai dengan kewajiban untuk mengurus surat pindah bagi NIK yang tidak memiliki tempat tinggal di Jakarta, bila mengacu kepada ketentuan pasal 15 ayat (3) dan (4) menjadi dasar perubahan atau penerbitan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penduduk yang bersangkutan. 

Artinya, NIK warga DKI Jakarta yang tidak mempunyai tempat tinggal di Jakarta di gusur dari Jakarta, karena sudah tidak memiliki hak jadi warga Jakarta. Suatu kebijakan yang melupakan relasi sosial yang terbangun turun - temurun dari mayoritas warga Jakarta, khususnya warga Betawi yang memiliki kekerabatan sangat kuat dan biasanya tinggal dalam satu kawasan bersama seluruh keluarga besar. 

Kebutuhan melestarikan relasi sosial tersebut seiring dengan pemenuhan tempat tinggal di Jakarta yang makin tidak terjangkau telah menyebabkan sebagian warga Jakarta menetap atau pindah ke daerah pinggiran Jakarta, tetapi tetap memilih mempertahankan domisili di tempat tinggal kerabatnya, untuk tetap menjaga hubungan sosial dan kekerabatan yang  ada. 

Selain daripada itu, selayaknya, setiap WNI bebas menetap disetiap wilayah NKRI dan mendapatkan jamainan untuk hal tersebut. Bahkan bila diperlukan, Pemda Jakarta harus menyediakan pemukiman yang layak dan terjangkau oleh warganya untuk hunian, bukan menggusurnya. Bukankah demikian seharusnya pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya.

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, Budi Awaluddin mengatakan bahwa ada 194.777 penduduk yang NIK-nya akan di non aktifkan pada tahun 2022 demi ketertiban administrasi penduduk, mengurangi potensi kerugian keuangan daerah, mengurangi potensi golput, dan menghindari penyalahgunaan dokumen kependudukan oleh masyarakat. 

Selain itu, Budi Awaluddin juga menyatakan bahwa ada tren statistik urbanisasi dari luar DKI Jakarta sebanyak 80 persen pendatang yang berpendidikan SLTA ke bawah, dengan kisaran 40-50 persen berpenghasilan rendah, dimana sekitar 20 persen menempati wilayah RW yang termasuk katagori kumuh.

Alasan mengurangi potensi kerugian keuangan daerah sejatinya lahir dari kesadaran bahwa pemerintah daerah merasa tidak memiliki tanggungjawab dalam mensejahterakan rakyatnya. Kesadaran tersebut tidak bertolak dari konstitusi bahwa negara harus menjamin kehidupan fakir miskin dan anak terlantar.

Sementara alasan soal tren urbanisasi bila merujuk kepada data Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menemukan fakta bahwa 55 persen populasi dunia telah tinggal diperkotaan pada tahun 2018. Hal ini sejalan dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang memproyeksikan bahwa tahun 2035 jumlah penduduk Indonesia yang tinggal diperkotaan akan mencapai 66,6 persen. 

Namun demikian, angka pelaporan kedatangan penduduk dari luar provinsi Jakarta justru mengalami penurunan berdasarkan data yang di monitor oleh BPS pada bulan Maret – Mei 2021 yaitu 13.047 pada bulan Maret, menurun menjadi 11.636 pada bulan April, dan kembali mengalami penurunan di bulan Mei di tahun yang sama menjadi 7.189 orang. Terjadi penurunan jumlah kedatangan penduduk dari luar Jakarta sebesar 44, 90 persen atau 5.858 jiwa pada tahun 2021 menegaskan bahwa argumentasi ada tren peningkatan urbanisasi dari luar Jakarta patut dipertanyakan.

Berikutnya adalah soal warga berpenghasilan rendah atau identik dengan pengangguran dan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin menurut data demografi DKI Jakarta pada bulan Maret tahun 2018 sebesar 373,12 ribu jiwa yang mengalami penurunan di bulan yang sama pada tahun 2019 menjadi 356,55 ribu jiwa. Penurunan angka kemiskinan di Jakarta cukup konsisten sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2019. Dan perlu diketahui bahwa data kemiskinan pada tahun 2015 sebesar 398,92 ribu. Jadi alasan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta sebagai dasar melakukan kebijakan penonaktifan NIK warga DKI Jakarta karena penduduk berpenghasilan rendah selain tidak relevan, sekaligus berlepas tangan atas kewajibannya mensejahterakan setiap warga Jakarta.

Terkait dengan angka Golput di Jakarta, perlu dikomparasi dari pemilu ke pemilu, selain komparasi antar provinsi perlu pula dikomparasi dengan partisiasi pemilih secara nasional. Partisipasi pemilih pada pemilu legislatif secara nasional mencapai 91,4 persen pada 1955, data ini mengalami peningkatan pada pemilu tahun 1971 menjadi 96,6 persen. Justru partisipasi pemilih mengalami penurunan pada pemilu 1999 yang menjadi 92,7 persen, dimana angka itu merupakan yang terendah sejak pelaksanaan pemilu 1971. Walaupun pada pemilu 2014 partisipasi pemilih mencapai 75,11 persen dan kembali mengalami peningkatan pada pemilu 2019 yaitu sebesar 81,69 persen. 

Pada pemilu legislatif tahun 2019 partisipasi pemilih Provinsi DKI Jakarta memang rendah karena mencapai 73,8 persen dengan total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebesar 9,75 juta jiwa. 

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah betul rendahnya partisipasi warga DKI Jakarta pada pemilu legislatif akibat ada 194.777 NIK (pemilih) yang tidak menetap di Jakarta! Padahal menurut data Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2017 ternyata partisipasi pemilih justru mengalami peningkatan antara putaran pertama yang  berkisar 75,75 persen menjadi 78 persen pada putaran kedua.

Selain itu, partisipasi warga Jakarta juga lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pemilu legislatif. Artinya, alasan menonaktifkan NIK untuk mengurangi Golput di Provinsi DKI Jakarta akibat rendahnya partisipasi pemilih dengan melakukan penggusuran terhadap 194.777 NIK warga Jakarta kembali tidak menemukan urgensinya, kecuali dalam rangka melempangkan agenda politik tertentu dari kelompok tertentu.

 

Reklamasi Jakarta Untuk Warga mana?

Reklamasi merupakan areal yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dengan salah satu pengembang papan atas seperti Agung Podomoro Land. Reklamasi pantai utara Jakarta dilakukan melalui payung hukum Keppres No 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta pada tanggal 13 Juli1995. 

Kemudian Pemda DKI Jakarta menerbitkan PERDA Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2030 untuk menjadikan Pantai Utara Jakarta sebagai lokasi program pengembangan baru DKI Jakarta. Maksud dari Reklamasi adalah proses perbaikan lahan agar sesuai untuk penggunaan yang lebih insentif. Jadi reklamasi menciptakan lahan, baik dengan menghilangkan air dari daerah berlumpur atau menaikan permukaan tanah.

Reklamasi Pantai Utara Jakarta terus berlanjut bila dilihat dari terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 206 tahun 2016 tentang Panduan Rancangan Kota Pulau Reklamasi yang diterbitkan oleh Gubernur Ahok dimana aturan tersebut kemudian dijadikan dasar hukum oleh Gubernur Anis untuk menerbitkan IMB terhadap 932 bagunan yang pernah di segel di pulau D. Dan reklamasi kembali berlanjut dengan terbitnya Keputusan Gubernur nomor 237 tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dufan seluas lebih dari 35 hektar dan Kawasan Ancol sekitar 120 hektar.

Nilai tambah yang bisa diperoleh oleh warga Jakarta dari hasil reklamasi tersebut nyaris tidak ada. Namun warga sekitar secara bertahap mulai digusur dan tergusur akibat adanya reklamasi. Dan kini penggusuran kembali dilakukan dengan cara menonaktifkan NIK warga Jakarta. Sedangkan keuntungan dari reklamasi bagi warga Jakarta khususnya dan WNI pada umumnya masih bersifat utopia, hanya retorika, tidak kongkrit dan untuk kepentingan sekelompok orang semata. Sebab, keuntungan riil dari Pemda DKI Jakarta dari reklamasi pantai utara Jakarta menurut Daniel Johan, hanya mendapat retribusi 5 persen sesuai peraturan yang berlaku.

Sementara nilai keuntungan dari proyek reklamasi dari pulau A sampai pulau M menurut perhitungan yang dilakukan oleh Daniel bisa mencapai 516,9 triliun pada tahun 2017 dengan asumsi utilitas lahan hanya 55 persen saja yang dikomersilkan. Keuntungan yang bernilai fantastis tersebut hanya akan masuk ke kantong para pengembang yang bisa memesan paket menu kebijakan melalui para pemangku kepentingan, termasuk menggusur daerah sekitar reklamasi untuk menciptakan kawasan elit dan pengurangan DPT Jakarta melalui proyek penggusuran NIK.

Sejalan dengan pandangan diatas, Imam Mahdi dalam Jurnalnya tentang Reklamasi Teluk Jakarta; Sebuah Prespektif Kekuasaan Dalam Ekonomi Politik menyimpulkan bahwa “dampak ekonomi yang ditimbulkan dari proyek reklamasi lebih banyak dirasakan oleh pengembang atau perusahaan. Masyarakat tidak mendapatkan hak yang semestinya mereka dapatkan. Hak tersebut meliputi akses terhadao ekonomi dan pekerjaan yang sepadan. Sedangkan pemerintah akan berkutat pada pajak retribusi daerah.” Artinya, warga Jakarta yang tidak mendapat manfaat secara ekonomi, hanya tinggal selangkah lagi akan dilumpuhkan secara politik, dengan beberapa paket penggusuran dari Jakarta secara terencana.

Memang pembahasan mengenai pulau - pulau Reklamasi di pantai Jakarta perlahan berangsur meredup, seiring dengan dinamika kehidupan Kota dan isu-isu lain. Padahal Reklamasi pantai utara Jakarta yang terdiri dari 17 pulau, mulai pulau A sampai dengan pulau Q mencapai luas total 5.153 hektar, dimana pulau M merupakan pulau paling luas yaitu 587 hektar, Pulau L menjacapi 481 hektar, dan Pulau P mencapai luas 463 Hektar. Reklamasi ini sangat bernilai strategis, baik dari segi ekonomi maupun politik. Ingat, areal reklamasi ini lebih luas dari Jakarta Pusat yang mempunyai luas 4.813 Hektar dengan total penghuni sekitar 1.105.731 jiwa. 

Tolal keseluruhan penduduk DKI Jakarta ialah 10.562.088 jiwa tersebar di 5 kota dan 1 kabupaten yaitu kepulauan seribu. Artinya, bila ada warga yang masuk ke wilayah reklamasi sesuai daya tampungnya, yaitu lebih dari 1 juta jiwa, maka konfigurasi demografi dan poltik di Jakarta bisa mengalami perubahan secara signifikan dimasa - masa yang akan datang. Kita tentu ingat bagaimana Malaysia memberikan status kewarganegaraan kepada TKI demi menjamin kemenangan Partai UMNO selama bertahun- tahun, demikian halnya dengan Singapura.

Nilai politik dari reklamasi Pantai Utara Jakarta tidak menemukan korelasinya bila tidak dikaitkan dengan jumlah Tenaga Kerja Asing yang masuk dan akan terus masuk ke Indonesia; Eksploitasi atas Sumber Daya Alam Indonesia yang dilakukan secara berlebihan; WNI yang akan menjadi asing di negerinya sendiri, dimana mulai terusir secara bertahap dari kota-kota kesayangannya. Pengusiran itu terjadi melalui sejumlah paket kebijakan -- seperti penonaktifan NIK warga Jakarta, -- yang lahir dari paket-paket perjanjian dimasa lalu.

Penggeseran dan pengusiran WNI sejalan dengan berbagai paket kebijkan semacam AFTA, NAFTA, dan CAFTA. Perjanjian AFTA (Asean Free Trade Area) ditandatangani pada tanggal 28 Januari 1992 di Singapura dengan maksud untuk menyikapi perkembangan ekonomi dunia, dimana ASEAN diharapkan bisa menjadi pusat produksi dunia, dengan tujuan strategis yaitu dalam rangka meningkatkan keunggulan negara ASEAN sebagai suatu kawasan melalui unit produksi tunggal dan sebagai pasar tunggal. Demikian halnya dengan NAFTA yang ada di kawasan Amerika Utara.

CAFTA (China Asean Free Trade Area) merupakan perjanjian multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas antara negara-negara Asean dengan China. Proses pendirian CAFTA terjadi secara bertahap melalui berbagai perundingan dan negosiasi antar kepala negara China dan ASEAN. Perundingan dan negosiasi berlangsung secara intensif dari tahun 2001 – 2007 dimana perjanjian secara resmi dilakukan pada KTT ASEAN tahun 2007 di Filipina dengan realisasi perjanjian pada tahun 2010.

Beberapa program utama CAFTA yang telah dicanangkan yaitu menerapkan sistem perdagangan bebas; melakukan peningkatan akses pasar barang dan jasa; mempermudah peraturan dan ketentuan investasi; dan melaksanakan konferensi rutin antara negara anggota. Selain dampak positif yang bisa didapat dari adanya perjanjian ini, ternyata dampak negatif yang ditimbulkan sudah mulai dirasakan terutama oleh industri - industri dan pelaku usaha dalam negari yang mulai terancam; selain itu, masuknya berbagai barang dan jasa dari negara lain ke dalam negeri telah membuat sendi-sendi penghidupan rakyat Indonesia sekarat. Banyak barang import yang masuk Indonesia seperti hasil pertanian dan peternakan, mulai daging sampai garam telah mematikan potensi rakyat; Selain daripada itu, telah terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap Sumber Daya Alam Indonesia, dimana layaknya penjarahan secara besar-besaran terhadap hasil bumi seperti Nikel, Batubara, hasil hutan dan laut.

Memang, bila merujuk kepada jumlah TKA yang berlaku di Indonesia pada Januari 2022 yang hanya terdapat 91.9623 jiwa, maka jumlah tersebut masih bisa dianggap dalam batas wajar. Tentu saja, dengan data resmi yang di publikasikan oleh Kementerian ini, kita harus berbaik sangka bahwa tidak ada TKA illegal yang masuk ke Indonesia, karena hanya Indonesia yang bisa masuk ke negeri lain secara illegal. Dan tentu saja, kita juga harus mengabaikan bahwa heterogenitas bangsa Indonesia, terutama kemajemukan etnis di Indonesia sangat memungkinkan bagi bangsa - bangsa dari negara lain untuk berasimilasi dan berbaur dengan WNI yang ada di Indonesia. Ditambah dengan berbagai kelemahan sistem kependudukan Indonesia yang ada saat ini. Artinya, Jakarta memiliki tambahan wilayah yang cukup luas dan memadai untuk menampung sekitar 1 juta jiwa di  wilayah hasil reklamasi. Sedangkan istrumen lagal untuk keluar masuk dan memiliki property di Indonesia dimungkinkan dari berbaagai regulasi yang ada. Tentu saja, sebagai catatan  saja, kita harus ingat bahwa ada 100 pulau di kawasan kepulauan Widi yang dilelang untuk mencari investor, bukan dijual! Sekali lagi, dilelang bukan dijual, demikian bila mengacu kepada penjelasan Mendagri RI,Tito Karnavian (5/12/2022).

Jumlah TKA yang ada di Indonesia tentu saja menarik untuk dicermati bila disandingkan dengan jumlah perusahaan yang telah terdaftar pada aplikasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (WLKP) sampai dengan triwulan I 2023 yang jumlahnya mencapai 1.465.567 perusahaan. Dan semoga saja semua tenaga kerja yang dilaporkan melalui WLKP  tersebut adalah WNI atau TKA yang terdaftar secara legal.

Sebagai prakata akhir dari tulisan ini, administrasi kependudukan memang harus segera diperbaiki, tetapi pengusiran warga Jakarta dari tanah kelahiran, kerabat dan keluarganya sangat tidak  manusiawi, terutama apabila agenda dibalik itu semua tidak cukup di uji oleh publik. Apalagi bila pengaktifan NIK hanya bagi yang punya rumah atau tinggal di Jakarta saja, karena itu adalah contoh buruk birokrasi bekerja.

*** --- ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun