Mohon tunggu...
Suhari Ete
Suhari Ete Mohon Tunggu... Batam, Kepulauan Riau

Tidak akan ada langkah keseribu jika langkah pertama tidak dilakukan. Maka, melangkah, jangan tunda-tunda lagi..just do it!! Twitter :@suhariete

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyongsong Suksesi FSPMI

15 Oktober 2025   08:00 Diperbarui: 15 Oktober 2025   08:05 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi demo buruh FSPMI |Photo :Isimewa

Dalam sejarah panjang gerakan buruh Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menempati posisi istimewa. Ia bukan sekadar serikat pekerja biasa, tetapi simbol dari konsistensi perjuangan kelas pekerja yang menolak tunduk di tengah gelombang neoliberalisme dan politik upah murah. FSPMI lahir dari semangat perlawanan terhadap ketidakadilan struktural, dan selama dua dekade terakhir menjadi salah satu kekuatan paling solid dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Namun di tengah arus perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang begitu cepat, muncul pertanyaan mendasar: siapkah FSPMI menghadapi era baru dengan kepemimpinan yang juga baru?

Krisis Kepemimpinan: Ketika Energi Lama Mulai Menurun

Tidak bisa dipungkiri, sebagian besar organisasi buruh di Indonesia termasuk FSPMI sedang menghadapi gejala “penuaan struktural.” Kepemimpinan yang lama sering kali terjebak dalam rutinitas birokratis dan kehilangan kedekatan dengan basis akar rumput. Padahal, buruh di lapangan kini menghadapi tantangan yang sangat berbeda dibanding dua dekade lalu.

Transformasi industri 4.0, maraknya sistem kontrak dan outsourcing, serta munculnya ekonomi digital berbasis platform, telah menciptakan kelas pekerja baru: buruh yang bekerja tanpa pabrik, tanpa seragam, dan tanpa jam kerja pasti.

Model perjuangan yang hanya berfokus pada sektor industri formal tidak lagi cukup. Dibutuhkan cara pandang dan strategi baru agar FSPMI tidak tertinggal oleh realitas sosial yang terus bergerak.

Kelelahan ideologis dan stagnasi taktik menjadi tanda-tanda yang nyata. Banyak buruh muda merasa jauh dari pengambilan keputusan, bahkan sebagian mulai mencari ruang perjuangan alternatif di luar serikat formal. Ini sinyal penting bahwa suksesi kepemimpinan bukan sekadar pergantian figur, tapi soal mengembalikan makna perjuangan itu sendiri: berpihak kepada buruh, bukan pada jabatan.

Belajar dari Generasi Muda: Keberanian yang Tak Terkontrol

Kematian tragis Affan Kurniawan buruh ojek online muda yang tewas dan serangkaian aksi setelah tragedy tersebut menjadi pengingat keras bahwa perjuangan kelas pekerja kini berwajah baru. Generasi muda dan pekerja informal menunjukkan bentuk keberanian yang berbeda: spontan, cair, dan tidak terikat pada struktur organisasi lama. Mereka tidak menunggu instruksi, mereka bergerak karena empati dan kesadaran. Ketika sebagian cara aksi tradisional cenderung menua, lamban, dan berhitung, generasi muda justru bergerak dengan keyakinan moral, meski harus menghadapi resiko yang juga tidak mudah. FSPMI perlu membaca tanda zaman ini: bahwa masa depan gerakan buruh tidak bisa dikelola dengan cara lama. Jika kepemimpinan baru hanya melanjutkan pola lama tertutup, hirarkis, dan transaksional maka regenerasi tidak akan terjadi, dan FSPMI akan kehilangan relevansinya di tengah perubahan sosial.

Suksesi: Antara Pergantian dan Perubahan

Suksesi sejatinya bukan hanya pergantian posisi, tetapi perubahan paradigma. Pemimpin baru FSPMI harus mampu melakukan tiga hal penting:

1.Membangun Organisasi yang Inklusif dan Lintas Generasi.

Anak muda buruh, pekerja perempuan, dan pekerja informal harus dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan. Struktur organisasi tidak boleh eksklusif atau berlapis-lapis hingga menutup partisipasi akar rumput.

2. Mengintegrasikan Isu-isu Baru ke Dalam Gerakan Buruh.

FSPMI harus berani memperluas agenda perjuangannya  tidak hanya soal upah dan kontrak kerja, tetapi juga isu lingkungan, digitalisasi, keamanan kerja berbasis AI, serta hak atas ruang hidup yang layak. Inilah cara agar gerakan buruh tetap relevan di tengah zaman yang berubah.

3.Memperkuat Pendidikan Politik dan Ideologi Kelas.

Regenerasi tidak akan berarti tanpa pendidikan.Buruh muda perlu memahami mengapa mereka berjuang, bukan hanya untuk tuntutan ekonomi jangka pendek, tapi untuk keadilan sosial yang lebih luas.

Di sinilah FSPMI bisa menjadi sekolah politik rakyat tempat di mana kesadaran kelas ditempa, bukan sekadar administrasi keanggotaan.

Belajar dari Generasi Tua: Melepas dengan Terhormat

Bagi generasi tua di FSPMI, momen suksesi ini juga menjadi ujian moral.Mereka yang telah berjuang bertahun-tahun membangun organisasi ini dari nol layak dihormati. Namun, penghormatan itu justru menemukan maknanya ketika mereka berani memberi ruang bagi yang muda untuk mengambil tongkat estafet. Kepemimpinan sejati tidak diukur dari seberapa lama seseorang berkuasa, melainkan seberapa mampu ia menciptakan pemimpin baru . Generasi tua harus belajar menjadi penuntun, bukan pengendali. Mereka memiliki pengalaman dan jaringan yang berharga, tetapi harus diserahkan sebagai warisan, bukan dijadikan alat mempertahankan posisi. Sebab organisasi yang sehat adalah organisasi yang berani memperbarui dirinya.

Lebih dari sekadar agenda kongres atau mekanisme formal, suksesi di tubuh FSPMI harus dilihat sebagai momentum kultural. Ini adalah kesempatan untuk menata ulang kultur organisasi  dari yang kaku menjadi terbuka, dari yang hierarkis menjadi partisipatif, dari yang defensif menjadi inovatif. Buruh muda kini tidak hanya memegang megafon di jalanan; mereka juga menguasai media sosial, teknologi, dan narasi publik.

Jika FSPMI mampu memadukan militansi lama dengan kecerdasan digital baru, maka organisasi ini tidak hanya akan bertahan, tapi juga memimpin gerakan buruh Indonesia menuju babak baru.

Suksesi di FSPMI bukan soal siapa yang akan memegang tampuk pimpinan, tapi ke mana arah pergerakan ini akan dibawa. Apakah tetap menjadi benteng terakhir kelas pekerja, atau perlahan berubah menjadi lembaga administratif yang kehilangan nyala ideologinya.

Generasi muda siap menyalakan obor baru, tapi mereka tidak bisa berjuang sendirian. Mereka membutuhkan bimbingan, bukan dominasi; dukungan, bukan pembatasan. Dan generasi tua, bila sungguh mencintai perjuangan ini, akan tahu bahwa setiap pemimpin sejati akhirnya harus berani menjemput senja  agar yang muda dapat menyambut fajar

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun